Kamis, 29 November 2007

Relasi Negara;Desa dam Komunitas

Desa, Komunitas, dan Negara, serta bagaimana relasi diantara ketiganya:

Syarief Ariefa'id al-flourez


Desa dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan kita, berada dalam "kooptasi administration of procedure", dimana desa menjadi bagian yang sulit dipsiahkan dari sistem hirarkisme birokrasi, sehingga desa manfaatkan sebagai unit penyelenggaraan pemerintahan terendah. Artinya hirarkisme tersebut menempatkan desa sebagai bawahan.yang paling rendah dari struktur birokrasi pemerintahan dimana konsekwensinya, komponen dan stakeholders pemerintahan di level desa dikondisikan sebagai kaki tangan dari atasan yang bekerja secara berjenjang (hirarkis); Camat, Bupati, Gubernur, dan Presiden. Menurut saya system hirarkisme itu bukan menjadi masalah utama, kalau saja segala petunjuk, kehendak dan kepentingan dari atasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa (they know what they are doing) dan tidak membunyikan kepentingan pribadi. Diperlukannya desa sebagai kaki tangan birokrasi pemerintahan modern tidaklah terlampau bermasalah sekiranya pemerintah memang bisa diandalkan sebagai agen pengelolaan kepentingan publik yang tidak korup: tidak mengatasnamakan kepentingannya sendiri sebagai kepentingan publik. Asumsi bahwa kepentingan pemerintah identik dengan kepentingan umum ternyata tidak bisa lagi dipegang. Birokrasi pemerintahan ternyata menjadi tempat yang aman untuk menyembunyikan berbagai kepentingan-kepentingan “sempit” dari para tokoh dan pemimpinnya.
Sehubungan dengan adanya kecenderungan tersebut di atas, maka diusunglah gagasan tentang desentralisasi pemerintahan. Artinya konsep desentralisasi tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan atas kewenangan yang dimiliki oleh para atasan tersebut dan diturunkan ke tingkat paling bawah yaitu desa. Muara dari desentralisasi pemerintahan ke level desa ini adalah tergalangnya otonomi desa. Ada semangat yang meluap-luap di sana sini bahwa eksponen-eksponen tingkat desa untuk menjadi penentu kebijakan di level desanya. Ada banyak desa yang sanggup berkembang sebagai mesin pemerintahan lokal yang relatif otonom, namun juga tidak sedikit dari mereka itu yang tetap berada dalam ketidak berdayaan, tetap tidak otonom. Desa “menikmati” posisi dan perannya sebagai ujung tombak dari pencapaian agenda-agenda yang dirumuskan dari luar. Persoalan yang sering kali melatarbelakngi hal tersebut adalah desa seringkali hanya dijadikan obyek dalam berbagai agenda pembangunan dan menegasikan proses pemberdayaan dan pendidikan bagi warga desa.
Sungguhpun banyak desa yang masih tidak kunjung berotonom, penyelenggaraan pemerintahan di era pasca Orde Baru diwarnai oleh kecenderungan menarik eksponen pemerintahan desa, ambil bagian dalam penggalangan jaringan dengan sesamanya. Otonomi desa tidak lagi dipahami sebagai otonomi hanya dalam yurisdiksi desa, melainkan juga otonomi untuk menggalang kekuatan dalam menghadapi fihak luar desa. Jelasnya, para eksponen penguata otonomi desa (pembaruan desa) tidak bisa lagi diperlukan sebagai entitas administrasi yang seakan tidak terkait satu sama lain. Kita mengenal adanya asosiasi pemerintahan desa, asosiasi BPD, Asosiasi Seketaris desa bahkan sampai asosiasi kepala dusun; mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang bisa dipergunakan untuk menghemat penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat desa mulai sadar akan hak-haknya sebagai warga Negara, sehingga otonomi desa sudah menjadi keharusan bagi seleluruh komponen desa untuk memperjuangkan dan merealisasikannya.
Atas persoalan tersebut, maka hal yang terpenting dari implementasi desentralisasi dan tonomi desa adalah menyiapkan komponen-komponen pendukung terlaksananya otonomi desat, sebab disadari atau tidak, bahwa pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah desa, bila tidak dilakukan dengan upaya-upaya penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah desa, maka yang akan terjadi adalah “desentralisasi masalah”, dan bukan kewenangan dan kekusaan (otonom). Salah satu fariabel penting untuk menyelenggarakan desentralisasi tersebut adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan pada tingkat desa.
Proses penguatan kelemabgaan yang dimaskudkan adalah mengupayakan adannya transformasi pengetahuan dan pengalaman yang berkaiatan dengan pengorganisasin, pengelolaan serta pengembangan lembaga desa sebagai institusi social yang mamapu menjadi wadah bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak dasranya. Sebab pada dasaranya lembaga dapat diartikan sebagai himpunan nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan peranan-peranan. Wujud yang konkrit dari lembaga adalah asosiasi atau organisasi. Nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan peranan-peranan itu menunjuk isi atau substansi dari lembaga, sedangkan asosiasi atau organisasi menunjukkan wadahnya. Di desa terdapat berbagai bentuk lembaga, baai yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat, yang tentunya berbentuk organisasi yang relative sederhana. Namun demikian, sebuah lembaga tidak secara otomatis merupakan organisasi. Munculnya suatu lembaga yang ada dalam kehidupan masyarakat dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk mencapai suatu tujuan dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, adanya kebutuhan kekerabatan menimbulkan lembaga lembaga perkawinan, lembaga keluarga batih, dan sebagainya. Adanya kebutuhan untuk menanggung beban kehidupan secara bersama menimbulkan lembaga gotongroyong. Fungsi yang mendasar dari lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat adalah:
Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam manghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah iaku anggota-anggotanya. Suatu lembaga mengalami proses perkembangan melalui dua tahapan:Tahap institusionalisasi (atau pelembagaan), yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga yang ada dalam masyarakat. Maksudnya, norma-norma baru itu dikenal, diakui keberadaannya, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.Tahap internalisasi nilai (atau terlembaga), yaitu suatu taraf perkembangan dimana norma telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat sehingga mereka dengan sendirinya berperilaku sesuai dengan norma tersebut.Ciri-ciri umum suatu lembaga: Merupakan organisasi dari pola-pola pemikiran dan pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas masyarakat. (misal: adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan). Berlakunya suatu nilai relatif kekal; memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu; memiliki alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan; adanya lambang-lambang biasanya juga menjadi ciri khas dari suatu lembaga
Dalam hal ini yang dimaksud lembaga-lembaga desa adalah berbagai lembaga yang ada di desa. Lembaga desa atau yang sering disebut dengan istilah institusi lokal adalah wadah kegiatan dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat yang pada umumnya terbentuk atas konsensus komunitas tertentu, bertanggungjawab kepada komunitas, memiliki sifat yang khas, memiliki sistem aturan yang dibuat sendiri untuk memenuhi kebutuhan komunitas yang bersangkutan.Beberapa lembaga desa yang telah kita kenal, antara lain:Lembaga desa yang lebih memainkan peran pada ranah pemerintahan:Pemerintah desa (Kepala Desa beserta perangkatnya) Badan Perwakilan Desa (berdasarkan UU 32/2004 diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa) Lembaga desa yang lebih memainkan peran pada ranah pembangunan, misalnya:Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kelompok Petai Pengguna Air, Kelompok Peternakan, Kelompok Tan, Kelompok Olah raga, Kelompok Kesenian, dan lain-lain. Lembaga desa yang lebih memainkan peran pada ranah kemasyarakatan, misalnya:Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), Perkumpulan Trah, Perkumpulan Kematian (bhs. Jawa: Pangrukti laya), Kelompok Pemuda, Kelompok ronda (siskamling), Lembaga adapt dll.
Lembaga-lembaga desa tersebut telah lama berperan sebagai perangkat penting dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa. Rasa saling percaya, semangat kebersamaan dan kemitraan, keinginan saling menolong/membantu yang terwujud sebagai modal sosial dari komunitas desa yang digalang dan dikembangkan melalui lembaga-lembaga desa semakin terasa manfaatnya. Modal sosial seperti itu sudah tentu memiliki nilai yang sangat berharga sebagai pijakan bagi pelembagaan sistem pengelolaan kepentingan publik secara demokratis. Badan Permusyawaratan Desa (sementara disingkat BPD) merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi legislatif, yaitu ikut menetapkan peraturan desa. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, berarti BPD harus menjadi saluran aspirasi warga desa. Lembaga-lembaga desa, seperti, RT/RW, kelompok-kelompok kegiatan, PKK, Kelompok Pemuda, dan sebagainya itu berfungsi sebagai forum warga yang memiliki kemanfaatan besar dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik (demokratis). Melalui forum warga semacam itu, banyak aspirasi dapat diserap oleh pemdes maupun BPD, sehingga kebijakan desa yang dibuat dapat merangkum/meliputi banyak kepentingan warganya. Melalui forum warga ini juga informasi-informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah desa baik di bidang pelayanan publik, pembangunan, anggaran, dan lain-lain dapat diperoleh.Forum warga yang terbentuk oleh lembaga-lembaga desa seperti itu juga bermanfaatan sebagai arena belajar bersama, dapat menjadi tempat warga desa saling mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan upaya memajukan desa, saling bertukar pengalaman tentang kemajuan daerah lain, dan banyak hal lain yang bermanfaat untuk didiskusikan.Lembaga-lembaga desa, jika dikelola dengan baik, akan sangat bermanfaat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dialami warga desa, misalnya: dapat berfungsi sebagai pelerai konflik, dapat menjadi jaring pengaman sosial (terutama pada saat masyarakat mengalami krisis), dapat menjadi kekuatan dalam meningkatkan taraf ekonomi warga, dan lain-lain.Kendala-kendala yang terjadi pada fungsi lembaga desaBerikut ini merupakan contoh kendala-kendala dari beberapa lembaga desa:Lembaga desa pada aras pemerintahan.
Dibanyak tempat (desa) hubungan Pemerintah Desa dengan BPD tidak harmonis. Oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa) BPD sering dianggap sebagai lawan yang selalu mencari kesalahan-kesalahan Kepala Desa. Hal ini terjadi karena pada masa transisi dari era keterkungkungan politik yang beralih ke era kebebasan/keterbukaan yang membuat BPD melakukan perannya melebihi fungsi yang sebenarnya. Di sisi lain, Kepala Desa yang semula dapat memainkan peran kepemimpinan secara leluasa menjadi terbatas karena adanya pengawasan dari BPD.Pemerintah desa seringkali lebih banyak peranannya dalam pembuatan peraturan desa, karena seringkali BPD belum memiliki kecakapan yang cukup untuk ikut terlibat dalam penyusunan perdes. Hal ini terjadi sebagai akibat kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan minimnya pengalaman bagi BPD dalam bidang penyusunan perdes. Dibanyak desa (terutama di Jawa) BPD seringkali tidak mampu melaksanakan fungsinya secara optimal (terutama fungsi pengawasan), karena ada kendala perasaan tidak enak (segan) dengan Kepala Desa.Lembaga desa pada aras pembangunan:LPMD sebagai lembaga (wadah) partisipasi warga desa sering kali tidak dapat melakukan kegiatan-kegitan sebagaimana fungsinya, dan seringkali pula kegiatan-kegitan yang dilakukan hanya bersifat rutinitas tanpa adanya inovasi (pembaruan). Beberapa penyebab terjadinya kendala tersebut antara lain karena: LPMD merupakan lembaga bentukan pemerintah dengan bentuknya yang formal, sehingga LPMD seringkali dipahami sebagai lembaga pelaksana dari program-program pemerintah. Selain itu, kualitas SDM dari aktor-aktor LPMD yang kurang memadai dapat menyebabkan kurang berfungsinya lembaga ini.PKK yang merupakan arena partisipasi perempuan desa seringkali tidak mampu menyelenggarakan kegiatan secara teratur, karena lembaga ini seringkali diposisikan sebagai lembaga yang tidak begitu penting. Alasan-alasan sempitnya waktu yang dimiliki karena kesibukan rumahtangga atau karena bekerja, biasanya merupakan alasan yang sangat sering dikemukakan. Kalaupun ada kegiatan, biasanya terbatas pada hal-hal yang bersifat rutin dan itu-itu saja (misal: arisan, penimbangan balita, latihan memasak, latihan rias). Sedangkan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan keterlibatan Ibu-ibu PKK dalam pembuatan kebijakan publik hampir tak pernah dilakukan. Kendala ini tampaknya disebabkan karena selama ini PKK belum dianggap perlu untuk ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan publik, dan perempuan dipandang sebagai bagian masyarakat yang tidak harus terlibat urusan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki (pandangan bias jender).Dibanyak desa, RT/RW seringkali hanya ada secara formal, tetapi tidak berfungsi sebagaimana tujuan pembentukannya. Seringkali RT/RW hanya berfungsi sebagai dasar untuk membagi kelompok masyarakat dalam melakukan kegiatannya atau untuk memudahkan pelayanan pemerintah.Lembaga-lembaga adat yang masih ada seringkali menjadi tidak begitu berfungsi karena adanya lembaga-lembaga bentukan pemerintah yang seringkali secara substansial menggeser nilai-nilai adat
Berdasarkan berbagai persolan tersebut maka sudah mejadi taggngjawab kita semua sebagai elemen bangas, khususnya perguruan tinggi unutk melakukan upaua-upaya konkrit dalam mentransformasikan ilmu dan pengetahuan guna meningkatakan kapasistas dan kemampuan baik secara intelekutual maupun secara social kultur, agar masyarakat desa mengetahui sipa dirinya dan apa yag akan harus dilakuakannya guna membanguan desa kedepan.

Daftar bacaan:

Demokrasi dan Demokratisasi : Tajudin Noer Effenndi (pustaka Pelajar)
Negara Dalam Desa : Patronase kepemimpinan Nasional: Hans Antlov (Lapera Pustaka Utama)
Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde; Sutoro Eko (APMD Press)
Arus Bawah Demokrasi : Dadang Juliantara ( Lapera Pustaka Utama)

Tidak ada komentar: