Jumat, 30 November 2007

Regulasi Porno

Analisis tentang Undang-Undang Anti Porno Akasi dan Pornografi
Oleh: Syarief Ariefaid al-flourez

A. Latar Belakang
Sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pronoaksi masih mengundang perdebatan masyarakat. Tidak mudah memang membuat suatu produk hukum yang dapat memuaskan seluruh lapisan masyarakat. Tetapi ini tidak bisa menjadi alasan untuk dengan gampang dan cepat mengesahkan RUU-APP, apalagi kita semua sudah sepakat untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu demokrasi tanpa diskriminasi walaupun acuan demokrasi prosedural mengarah pada pengakuan suara mayoritas.
Ketika bangsa ini sukses mengadakan pemilu secara langsung pada tahun 1999, terlontar suatu argumentasidan bahkan pujian dari pemimpi negara tentangga termasuk Amerika yang menilai bahwa Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan syarat kalau saat ini prosesnya berada pada jalan yang tepat.
Menyimak kontrovesi RUU-APP yang masih terus bergulir, sebaiknya semua pihak baik pemerintah, DPR dan semua golongan masyarakat yang peduli terhadap RU-APP, agar dalam merumuskan substansi RUU-APP memperhatikan karakter heterogenitas masyarakatnya. DPR dan pemerintah seyogyanya tidak larut dan terbawa arus terhadap tekanan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat maupun person. Meskipun eksistensi DPR secara formal merupakan representasi rakyat, tetapi secara substansial amat naif bila mewakili suara etnik dan suku bangsa yang jumlahnya ratusan. Konteks demokrasi, para wakil rakyat di tuntut memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia, sehingga setiap keputusan yang diambil dan yang akan dijadikan suatu aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diterima secara “legowo” oleh semua pihak (elemen bangsa).
Oleh sebab itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah seharusnya mendengarkan “silent voice” kelompok masyarakat yang karena keterbatasanya dalam segala hal (kurangnya pengetahuan, terbatasnya akses informasi dan komunikasi, minoritas, dan kurangnya keberanian) tidak bisa menyampaikan aspirasi, suara dan pendapatnya dengan lantang, sistematis dan agresif tetapi penting untuk didengar, karena nantinya UU itu setelah disahkan wajib dipatuhi oleh seluruh rakyatnya. Jadi berbagai kajian baik secara kademis, secara sosial bahkan secara adat-istiadat harus dilakukan guna menghasilkan suatu produk undang-undang yang memiliki kualitas demokrasi.
Perlu kita ketahui bahwa tidak ada satu ajaran agama-pun dan bahkan aliran kepercayaan di negeri ini yang tidak peduli dan tidak menganjurkan pengikutnya untuk bermoral baik, dan disisilain tidak ada satu bangsapun yang tidak mengakui akan kanekaragaman suku, budaya dan agama di negeri ini. Seyogyanya DPR lebih proaktif turun kedaerah seluruh Indonesia dan berdialog langsung dengan masyarakat setempat, untuk menampung aspirasi dan suara sebanyak mungkin, sehingga “silent voice” bisa diungkap dan digali

Pro dan Kontra RUU-APP
Banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kalangan masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, artis, aktivis maupun kalangan ibu rumah tangga di berbagai daerah di Indonesia yang menolak maupun mendukung RUU-APP, bukan hanya menunjukan terjadinya pro dan kontra terhadap RUU tersebut akan tetapi juga menunjukan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikuturalisme (bangsa yang majemuk). Bagi mereka yang mendukung disahkannya RUU-APP baik person maupun kelompok, tentunya di dasari sebuah social movment (gerakan sosial) karena kondisi bangsa “ yang mengalami degradasi moral”. Dimana arus globalisasi yang menghantarkan kehidapan sosial masyarakat Indonesia terjerat dalam konstelasi kehidupan westernisasi ( kebarat-baratan). Secara kasat mata kita dapat melihat secara langsung berbagai fenomena sosial yang terjadi pada dekade terakhri ini. Dari berbagai pantuan dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, baik memalui media cetak, media elektronik maupun media massa menunjukan bahwa reaksi keras untuk mendukung disahkannya RUU-APP ini disebabkan telah bergesernya nilai-nilai dan tatakrama masyarakat Indonesia, baik dalam hal tutur-kata maupun berpenampilan (pakian). Banyak kasus pemerkosaan, pelecehan seksual dan tindakan-tindakan porno aksi dan pronografi ditunding karena ketidak mampun negara memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi sehingga berdampak pada liberalisasi pornografi dan pronoaksi dalam rangka meningkatkan pamor dan strata sosial dalam kehidupan masyarakat yang memasuki fase modernitas.
Pada sisi lain, bagi kelompok yang menolak disahkannya RUU-APP ini juga memiliki argumentasi yang cukup relevan dan ilmiah. Dalam benak kita mungkin masih ingat ketika sekelompok aktivis perempuan melakukan aksi demostrasi di Jakarta, dimana dalam spanduk dan orasinya berbunyi “ Tolak pornoaksi dan pornografi dan tolak RUU-APP”. Dan bahkan kalangan artis dan juga aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Bhineka Tungal Ika, secara tegas menolak RUU-APP, dengan alasan RUU ini akan berdampak negatif pada disintegrasi bangsa, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk”. Menurut kalangan yang kontra dengan RUU-APP ini bahwa terjadinya degredasi moral bangsa, tidak serta merta harus dibuat suatu undang-undang yang sarat dengan diskriminasi, baik diskrimisai sosial, budaya, gender maupun diskriminasi agama. Jadi kalangan ini menolak adanya anggapan bahwa kasuistik terjadinya pelecehan seksualitas dan terjadinya pornoaksi dan pronografi dalam masyarakat kita jangan didefenisikan secara parsial (sepihak). Menurut mereka (yang kontra) bahwa DPR harus benar-benar mengakomodir kepetingan seluruh elemen bangsa dalam membuat suatu regulasi, artinya kondisi sosio-kultural Indonesia yang multikulturalisme harus dijadikan acuan.

Masalah
Jika RUU-APP yang begitu kontrovesial ini akan disahkan, apa yang akan terjadi dengan heterogenitas dan multikulturalisme di bangsa kita? Siapakah yang harus bertanggungjawab terjadinya berbagai “kejahatan pornografi dan pornoaksi di negara ini?

Hipotesis
Konsesus dasar demokratis menerima secara loyal, dalam batas-batas undang-undang dalam batasan-batasaan undang-undang dasar dan hak asasi manusia, apa yang diputuskan mayoritas demokratis – akan seirus terancam. Maka ada baiknya kita melihat kembali argumentasi yang dikemukakan oleh kedua belah pihak (pro dan kontra). Sebenarnya ada dua argumentasi mendasar. Bahwa bagi mereka menuntut disahkannya RUU-APP menunjuk pada merajalelanya pornografii dan pornoaksi yang mengancam generasi muda. Secara moralitas dan secara hatinurani-pun kita mengakui bahwa pentingnya membimbing generasi muda agar tidak terjebak dalam arus globalisasi yang mengatasnamanakan modernisasi sehingga menegasikan budaya timur. Hal ini juga sperti yang argumentasikan dengan amat mengesankan oleh Santi WE Soekanto bahwa menurunya kualitas moral bangsa disebabkan ketidak mampun negara dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi . (Jakarta, post, 17/3/2006). Karena itu NU mendukung RUU tersebut.
Apabila kita mau mencapai konsesus antara mainstrem (cara berpikir) kedua pihak, perlu disadari mereka yang menentang RUU ini dalam bentuk sekarang sama sekali tidak menetang keprihatinan itu. Mereka pun amat khawatir dengan banyaknya produk pornografik (tak ada kontrovesi tentang itu) yang mudah terakses dimana-mana. Baik itu dilakukan oleh generasi muda, orang tua dan bahkan oleh anak-anak. Banyak kasus dinegeri ini yang mencerikan dan mengisahkan tentang berbegai kejahatan pornografis dan pornoaksi. Akan tetapi bagaimana penanganan yang dilakukan oleh pemerintah? Aturan hukum-pun sudah ada ( KUHP), toh kasus-kasus yang bertentangan dengan “moralitas” –setiap waktu meningkat.
Yangmenjadi argumen para penentang adalah RUU-APP tidak akan mengatasi masalah yang kita prihatinkan bersama, bahkan bisa berbahaya. Jadi persolannya bukan pada keprihatinan ;bahwa meraka yang prihatin dengan ancaman pornograi berhadapan dengan mereka yang tidak peduli atau mempuyai pandangan liberal. Para penentang juga prihatin. Tetapi setelah mempelajari apa yang tertulis dalam RUU-APP, mereka menyimpulkan, dari pada mengatasi pornografi yang merajalela, RUU-APP diam-diam memaksakan pandangan asing pada masyarakat.
Jadi menurut saya jika RUU-APP ini tetap disahkan, maka dampak yang pertama dirasakan adalah, adanya parsialisme penafsiran terhadap tindakan-tindakan pronografi dan poraksi, hal ini kita bisa buktikan dengan kasus yang terjadi di daerah Tanggerang yang membuat undang-undang sektoral (perda) dimana peraturan daerah tersebut sangat parsial dan sempit sekali dalam memahami “kejahatan pornografi dan pornoaksi” sehingga aparat pelaksana pemerintah melakukan tindakan-semena-mena terhadap masyarakatnya sendiri. Hal ini baru sedikit persoalan dari pola perilaku masyarakat. Lalu bagiamana dengan persolan budaya dan ada istiadat yang ada di bangsa ini. Apakah berbusana ala “koteka” Papua, termasuk dalam kategori tersebut,? Apakah berpakaian “temben” ala Jawa akan mendapatkan sanksi dari RUU-APP tersebut, Apakah Bali harus mengeluarkan aturan yang keras bagai para wisatawannya agara tidak boleh menggunakan pakaian yang bisa menimbulkan birahi dan sensualitas? Ataukah warga “dayak” di kalimantan dalam upacara adatnya harus diberikan “selimut” agar auratnya tertutup. Pertanyaan ini akan selalu diucapkan oleh siapanpun yang merasa diri kontra dengan RUU-APP ini, sebab DPR dalam argumentasinya mengatakan bahwa tidak ada pengecualian dalam menerapkan UU ini. Termasuk Bali dan Papua.
Sungguh ironis kemudian, mengatasi terjadinya degradasi moral bangsa harus dibuatkan suatu produk hukum yang justru menghancurkan budaya dan adat istiadat bangsa. Menurut saya, hal yang terpenting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan agar rancangan undang-undanga tersebut bukan lagi berbicara pada batas-batasan mana pendefenisian pornografi dan pornoaksi melainkan harus melakukan upaya proteksi pada sektor, yaitu menjawab penyebab mengapa terjadinya degradasi moral bangsa? Dan mengapa banyak kalangan masyarakat menolak UU tersebut. Saya kira yang paling pokok. Apakah pemerintah sudah secara serius membasmi kasus kekerasan dalam rumah tangga?, apakah pemerintah sudah sukses mengatasi kasus pemerkosaan terhadap anak? Apakah pemerintah sudah final mengatasi persoalan protitusi?. Seharunya pemerintah selesaiakan dulu persoalan ini karena produk hukumya sudah ada. Lagi-lagi persoalannya adalah implementasi yang belum optimal.
Ihwal merajalelanya barang-barang pornografis dan pornoaksi, sebenarnya bukan masalah kekurangan sarana hukum. Apalagi seperti yang ditegaskan Profesor Muladi (kompas,19/3), RUU KUHP juga memuat pasal-pasal anti porno. Pornografi merajalela karena tidak bisa atau tidak mau ditindak. Namun jika RUU-APP mau menegaskan kembali pelarangan atasa barang pornografis (seperti rencana revisi RUU) tentu bisa disambut baik, dengan catatan bahwa undang-undang terbaik-pun tidak bermanfaat jiika tidak dilaksanakan.
RUU-APP dinilai berbahaya, sebab RUU tersebut mencampur-adukkan dua hal yang tidak sama, yaitu hal porno dengan hal yang tidak sopan (suara Pembaruan, 20,/2). Apalagi RUU-APP salah mengerti tentang apa yang dimaskud dengan “erotik”. Jadi RUU ini bisa dikatakan mengkriminalisasikan sebagai porno bukan hanya apa yang umumnya dianggap porno. Memperlihatkan bagian-bagian tubuh perempuan, dalam situasi tertentu, mungkin tidak sopan, tetapi tidak porno. Memornokan bagian–bagian perempuan adalah asing bagi kebanyakan budaya di Indoensia. Jika pornoisasi ini menjadi UU, maka sederet cara laki-laki dana perempuan Indoensia (bukan hanya di Bali dan Papua) mandi, berpakian (pakian rileks dirumah, pakian kerja, pakaian pesta, pakaian tarian terhormat, termasuk yang bersuasan religius), atau berlibur; akan dikriminalisasikan.
Dengan demikian RUU-APP ini melindas keanekaragaman budaya tradisional yang menjadi identitas plural Indonesia sejak ratusan tahun. RUU APP merupakan sebuah serangan terhadap identitas budaya nusantara. ( Frans Magnis- Suseno SJ)

Melacak Terjadi Pornoisme
Dalam kondisi bangsa yang “carut-marut’ karena tidak adanya kapastian dan ketegasan hukum, merupakan dampak yang cukup signifikasn terjadinya “trouble trust” (minim kepercayaan) masyarakat terhadap para penyelenggara pemerintahan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang diikuti oleh masa transisi yang juga belum usai, juga menjadi faktor terjadinya “labilitas” masyarakat Indonesia dalam mengukuhkan moralitas sebagai benteng pertahanan dalam kancah globaliasi. Seperti yang kita katahui bahwa diera globaliasi saat ini segala akses informasi dan porses transformasi begitu cepat terjadi, sehingga manusia yang satu dengan yang lainnya, negara satu dengan negara yang lainnya seolah-olah tiada sekat yang membatasi. Menurut pemhaman saya bahwa meningkatanya kasus pronografi dan pornoaksi di negara ini, tidak lepas dari kuatnya ekspansi mondernisasi melalui berbagai media yang dikuatkan oleh proses liberalisasi terhadap bangsa Indonesia yang akhirinya berdampak juga terhadap liberalisasi dan eksploitasi seksualitas sebagai bagian dari pertarungan agar tetap survive dalam kondisi apapun.
Ketidak mampuan pemerintah dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi dengan ekspansi kapitalismenya, memaksa pada masyarakat Indonesia harus menentukan jalan sendiri dalam menyikapi kehidupan. Yang akhirnya dalam kondisi “putus asa” DPR merancang aturan yang sebenarnya memiliki niat baik, akan tetapi cenderung diangap sebagai sikap yang “over protectif” yang bisa berdampak pada degredasi niali budaya bangsa. Oleh sebab itu menurut saya hal yang paling berpengaruh terhadap berbagai kejahatan pornografi dan pornoaksi adalah terjadinya liberaliasi terhadap media. Sebab menurut saya media (baik cetak maupun elektronik) merupakan sarana yang paling efektif dalam mengubah pola perilaku dan sikap. Artinya pemerintah juga harus bisa membenahi tentang hak-hak penyiaran, hak-hak penerbitan yang tentunya dalam konteks mendefenisikan pornoisme tersebut tidak dilakukan secara parsial.
RUU-APP, secara prinsipil, menurut saya bertujuan untuk membenahi krisis moral yang terjadi di negeri ini, namun disisi lain secara substantif RUU–APP ini mengeasikan kondisi pluralisme, sebab tidak ada satu agamapun yang menghalalkan pronografi dan proaksi tersebut, namun demikian DPR harus secara jeli mendefenisikan porno tersebut sehingga bisa mengakomodir seleruh kepentingan masyarakat bangsa. Bila dilihat bahwa kurang kompetensi perumus RUU anti pornografi merupakan fakta yang berdampak negatif terjadinya pro dan kontra dalam masyarakat, dimana para penyusun sebagaimana yang disebutkana oleh Frans M. Suseno; meraka tidak mampu membedakan antara porno dan erotis dan tidak mampu mendefenisikan secara spesifik apa yang disebut dengan porno. Oleh karena itu menurut Frans. Kalau RUU ini dibuta oleh orang yang tidak paham akan porno ,aka akan menimbulkan petaka, itu bukan karena mereka acuh tak acuh terhadap ancaman pornografi yang beredar melainkan karena RUU–APP ini sarana yang salah. Kalau disamping RUU KHUP sebuah undang-undang antiporno memang masih dianggap perlu, UU itu hahrus tegas-tegas mengkriminalisasikan pengedaran barang-barang porno, tetapi kriminalisasi pola pakaian perempuan tentu harus didefenisikan secara jelas dan tidak diskriminatif.

Tidak ada komentar: