DINAMIKA POLITIK PEMBARUAN DESA
(Refleksi Kritis Atas Pembaruan Desa 2005)
Oleh Gregorius Sahdan
Politik pembaruan desa tahun 2005 tidak hanya mengalami involusi demokrasi dan good governance, tetapi juga masih terbatas pada upaya resinasi dan resultante dari politik pembaruan desa, sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya, terutama dinamika politik yang terjadi tahun 2004. Semenjak dikeluarkannya UU NO.32/2004 yang menandai arah perubahan dan konjungtur politik pembaruan desa tahun 2004, desa relatif menghadapi persoalan yang bersumber dari orentasi, arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah tentang desa.
Orentasi utama politik pembaruan desa sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004 adalah untuk memperkuat pelayanan publik di desa. Stagnasi demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang “tidak jelas dan tak terukur” dipandang menjadi soal pokok mengapa desa terus berkutat pada kemiskinan, keterbelakangan, tidak demokratis, bad gvernance dan sebagainya. Pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam UU No.32/2004, khususnya pada pasal 200[1] (tentang pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa) dan pasal 202 (tentang sekdes yang berasal dari PNS) menghendaki arah perubahan desa ke desa yang dapat menjalankan pelayanan publik secara maksimal. Kritikan pedas yang menandai arah perubahan ini, terutama sekali berkaitan dengan pemberengusan Badan Perwakilan Desa. BPD yang menjadi lokomotif berjalannya demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang sehat[2] (rural village governance) “dihancurkan” dan digantikan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BAMUSDES). Bamusdes sendiri tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa, sehingga kehadiran Bamusdes lebih mencerminkan logika politik pemerintah untuk mengkoptasi dan memproteksi stabilitas politik di desa.
Logika politik pemerintah yang bekerja dalam ranah memperkuat pelayanan publik tanpa instabilitas politik atau dengan upaya “mengharmoniskan kembali” hubungan antara pemerintah desa dengan lembaga-lembaga politik lainnya di desa[3], justru dilihat masyarakat desa sebagai strategi “negara” (pemerintah supradesa) untuk terus menghegemoni, mengontrol dan mengendalikan loyalitas masyarakat desa terhadap pemerintah. Hal ini sama persis dengan logika politik depolitisasi dan deidologisasi dalam figurasi kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap desa yang justru mematikan sendi-sendi dasar demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang berbasis pada “local wisdom”. Nilai-nilai lokal yang menjadi sendi-sendi dasar demokrasi di aras desa, digantikan dan digembos melalui ekspansi dan masifikasi nilai-nilai kekuasaan negara. Negara menjadi monster (menjamin berlangsungnya penjagaan ketertibaan dan keamanan melalui pos ronda dan polisi tidur) untuk membuat desa terus-menerus tunduk dan setia pada kehendak negara. Resinasi dari wajah kekuasaan negara yang beringas ini hadir dalam bentuk kekuasaan yang tersentral dan terpusat dalam komando kepala desa di level desa. Karenanya, kehadiran UU No.32/2004 dibaca oleh desa dan banyak pengamat, termasuk praktisi yang bergelut di desa sebagai upaya “resentralisasi” dan negaranisasi desa. Perlawanan yang paling gigih terhadap UU No.32/2004 muncul dari aliansi BPD dan anggota BPD yang tersebar di berbagai desa, menolak kehadiran Bamusdes.[4]
Ketika resentralisasi dan negaranisasi desa mendapat perlawanan dari level desa, konstruksi kebijakan pemerintah justru menjadi destruktif dan terkesan membiarkan dinamika politik di desa berjalan sendiri, mengalir bagai air, tanpa disertai trobosan-trobosan yang sangat jelas untuk memperkuat institusionalisasi kehadiran negara di desa melalui pengangkatan PNS yang membantu negara (pusat) mengelola dan memperkuat pelayanan publik di desa. Hingga memasuki penghujung 2005, dan sampai dengan saat ini kesan negara yang membiarkan sekdes dan Bamusdes terpasung dalam logika kebijakan, tanpa implementasi (tidak didukung adanya peraturan pemerintah tentang pembentukan atau pengangkatan Sekdes yang PNS dan Bamusdes), memperkuat alasan histories bahwa pemerintah Republik Indonesia dari dulu sampai dengan saat ini, tidak mendorong perubahan politik di desa ke arah yang semakin baik, malah menjadi pemicu meluasnya malpraktik demokrasi, otonomi dan tatakelola pemerintahan yang buruk di level desa. Kebijakan-kebijakan yang “memeras desa” seperti bantuan keuangan yang disertai persyaratan swadaya tinggi[5] (daya ukur partisipasi), bantuan langsung tunai (BLT) yang melemahkan kemandirian dan kapasitas masyarakat mengelola self governing-nya, bantuan penguatan sarana dan prasarana di daerah pedesaan dan sebagainya, justru menjadi cambuk stagnasi dan involusi demokrasi dan pembaruan desa, menjadi desa yang makmur dan demokratis.
Orentasi (kebutuhan pragmatisme kekuasaan pemerintah pusat), arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah yang mengkerdilkan kembali relaksasi politik di desa yang sudah berkembang kian jauh di bawah UU No.22/1999, menjadi titik pokok (vocal point) pembaruan politik yang involutif dan berjalan di tempat sepanjang tahu 2005 lalu.
Agenda dan Pembaruan Politik Desa 2005
Dinamika politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005 mencatat record stagnansi dan involusi yang sangat luar biasa. Stagnansi dan involusi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi dan tatanan pemerintahan yang demokratis di level desa. Kata kunci pengelolaan pemerintahan desa yang demokratis dengan standar-standar prosedural seperti partisipasi, akuntabilitas, transparansi, responsif dan sebagainya, tidak lagi bergaung di tahun 2005. Lenyapnya simptom-simptom tersebut merupakan dampak dari resultante perubahan UU No.22/1999 dengan UU No.32/2004.
Stagnansi dan involusi demokrasi desa, lebih banyak disumbangkan oleh menguatnya peran-peran negara di aras pusat, dengan serangkaian agenda yang pada titik tertentu “akan” menghasilkan arus balik penguasaan negara terhadap desa. Beberapa agenda perubahan yang terjadi sepanjang tahun 2005 dan perlu dibaca sebagai refikasi negara kuat yang dihadirkan dan ditonjolkan UU No.32/2004 adalah sebagai berikut; (1) regulasi dan birokratisasi desa; (2) integrasi politik desa ke dalam negara; (3) harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa; (4) struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik; (5) institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas; (6) otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state); (7) sistem pemerintahan desa dengan akuntabilitas ke atas; (8) demokrasi desa yang design by state; (9) keuangan desa dengan sistem alokasi anggaran yang belum jelas; (10) relasi desa dengan lembaga lain yang lebih mencerminkan kepentingan fungsional ketimbang kesadaran politik dan; (11) relasi antara struktur keuasaan yang mencerminkan atasan dan bawahan, bukan hubungan patnersip. Untuk jelasnya lihat table berikut.
Tabel Agenda dan pembaruan politik tahun 2005
Agenda
Pembaruan Politik
Preferensi pemerintah
Titik Perubahan
Regulasi dan birokratisasi desa
Sekdes yang berasal dari PNS
Untuk memperkuat pelayanan publik di level desa
Tidak jelas dan tidak terarah, karena peraturan pemerintahnya belum terbit
Integrasi politik desa ke dalam negara
Desa bertanggungjawab kepada Bupati melalui Camat
Memperkuat loyalitas desa terhadap negara
Desa loyal kepada supradesa ketimbang kepada rakyat
Harmonisasi hubungan antar lembaga politik desa
BPD digantikan dengan Bamusdes
Menciptakan dan memelihara stabilitas politik di level desa
Percecokan dan sengketa kepentingan antara pemerintah desa dengan lembaga perwakilan desa berkurang
Struktur kekuasaan desa
Monolitik, sentralistik dan kosentrik
Pengambilan keputusan berjalan lancar
Menghilangkan kontrol BPD terhadap pemerintah desa
Institusi desa
Heterogen dan pluralisme terbatas
Demokrasi desa yang dikendalikan
Desa tunduk pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi desa
Otonomi yang diberikan (given autonomy), bukan otonomi asli (self-autonomy) atau otonomi kontraktual (contractual autonomy)
Masifikasi dekonsentrasi dan kepentingan negara ke desa
Kewenangan desa yag dirumuskan pusat (pasal 2060
Sistem pemerintahan
Heterogen dan pluralisme terbatas
Ketakutan terhadap munculnya otokrasi (raja-raja desa) yang melawan supradesa
Peluang pembentukan desa sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah tidak ada
Demokrasi desa
Demokrasi by design-dirancang pemerintah pusat
Mendorong demokrasi tanpa konflik
BPD yang digantikan Bamusdes tapa kekuasaan kontrol pemdes
Keuangan desa
Mengatur dengan jelas keuangan desa dalam pasal 212
Menjamin pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana di desa
Peraturan pemerintahnya belum tegas tentang alokasinya (tetapi sekarang sudah dijamin dengan PP/72/2006
Relasi desa dengan lembaga lain
Fungsional dan efektif
Mendorong kerja sama desa dengan lembaga-lembaga lainnya.
Menjamin kerja sama antar desa (pasal 214)
Relasi antara struktur kekuasaan
Supradesa menjadi atasan desa
Menjaga loyalitas desa dan menjamin demokrasi tanpa instabilitas
Desa bertanggungjawab kepada pemerintah supradesa (Kabupaten)
Meneropong Praktik Politik Pembaruan Desa 2005
Konsepsi politik pemerintah yang dituangkan dalam UU No.32/2004, telah menjadi catatan penting dinamika emprikal praktik politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005. Pertama, implikasi dari regualasi dan birokrasi terhadap desa melalui kebijakan penataan aparat pelaksana yang bertugas untuk memperkuat pelayanan publik di desa, dalam banyak kasus ditemukan fakta bahwa telah terjadi pertarungan perebutan posisi untuk menjadi sekdes di beberapa desa dengan iming-iming bahwa setelah menjadi sekedes pemerintah kemudian akan mengangkat mereka menjadi PNS. Di beberapa desa di Jawa Tengah juga, banyak sekdes yang menuntut agar segera diangkat menjadi PNS. Bahkan desa-desa di mana masa tugas sekdesnya habis, terpaksa sekdesnya dikosongkan menunggu kejelasan pemerintah pusat untuk mengangkat sekdes menjadi PNS.
Kedua, integrasi politik desa ke dalam negara nampak terlihat di beberapa desa, dimana akuntabilitas pemerintahan tidak lagi dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tetapi langsung disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Namun perlu diakui bahwa di banyak desa yang ada di DIY dan Jateng, akuntabilitas pemerintah desa masih ditujukan kepada rakyat melalui BPD.
Ketiga, harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa yang tercipta melalui pemberengusan kekuasaan kontrol BPD terhadap pemerintah desa, menyebabkan “matinya” semangat demokrasi representatif di level desa. BPD sebagai lokomotif demokrasi desa di banyak desa, khususnya di luar Jawa mengalami metamorfosa, dari BPD yang galak menjadi BPD yang “tumpul” dan lebih banyak diamnya, pasif dan tidak aktif mengontrol pemerintah desa.
Keempat, struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik, kembali mendapatkan “ruang” yang leluasa di level desa sejalan dengan kebijakan pemerintah menggantikan BPD dengan Bamusdes. Di banyak desa di luar Jawa (juga beberapa di Jawa), kepala desa kembali tampil sebagai orang yang “maha kuasa” di level desa. Bahkan dalam berbagai kesempatan yang kami temui di lapangan, ada kecendrungan kepala desa untuk melenyapkan BPD yang ada di desa. Kepala desa mulai mengganggap BPD sebagai enemy of the power kepala desa, sehingga mereka antusias dan senang sekali ketika kekuasaan BPD diberengus.
Kelima, kita menyaksikan juga bahwa di banyak daerah, akibat keluarnya UU No.32/2004 telah tercipta institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas. Artinya, masyarakat lokal diberikan kesempatan untuk membentuk desa sesuai dengan local wisdom mereka, tetapi pemerintah pusat masih memiliki kendali yang kuat untuk merepresi kemungkinan-kemungkinan terjadinya arus balik ke pembentukan desa tradisional atau desa adat. Property right masyarakat atas nilai-nilai lokalnya, tidak lagi mendapat proteksi, sebagaimana dengan UU No.22/1999. Banyak desa yang terpaksa mempertahankan institusi modern yang diwariskan oleh Orde Baru dan terus dipertahankan hingga tahun 2005.
Keenam, kita menyaksikan bahwa otonomi asli di banyak desa telah dihancurkan dan desa-desa di banyak tempat terus bergerak mengikuti otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state) atau otonomi yang diberikan negara, dirumuskan dalam pasal-pasal yang dibuat pemerintah pusat. Dampaknya, kreativitas masyarakat terus berkurang dan kapasitasnya dalam menjalankan pemerintahan semakin terbatas. Kreativitas dan kapasitas yang terbatas merupakan dampak dari resentralisasi yang berkembang sejalan dengan dikeluarkannya UU No.32/2004. Dalam kadar yang sama, kita juga melihat bahwa desa-desa telah berkembang menjadi desa yang loyal dan setia kepada pemerintah atasannya, dan tidak lagi tunduk dan patuh pada kepentingan masyarakat. Apalagi demokrasi desa telah dikoptasi oleh negara dengan meruntuhkan wibawa BPD menjadi Bamusdes yang kehadirannya hanya sebagai lembaga “tukang stempel”.
Ketujuh, perlu diakui bahwa perhatian pemerintah terhadap alokasi keuangan ke desa, sedikit demi sedikit mulai meningkat dengan adanya ketentuan tentang perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa. Walau sampai dengan penghujung 2005, kita terus menyaksikan bahwa banyak sekali desa yang sepanjang tahun 2005 merindukan adanya alokasi anggaran yang jelas yang diberikan ke desa. Dengan keluarnya PP/72/2006, menjadikan kerinduan desa tersebut sedikit terobati.
Berdasarkan pengalaman dan praktik empirik agenda dan pembaruan desa 2005 yang lalu, kita sedikitnya bisa membuat peta proyeksi dan predikisi dinamikan pembaruan politik 2006 dan dari situ kita bisa membuat agenda yang tepat untuk mengatasi serangkaian persoalan dan tantangan nyata yang mungkin akan dihadapi.***
[1] Lihat juga pasal 209 yang secara khusus mengatur tentang Badan Permusyawaratan Desa
[2] Ini tercermin dari amanat UU No.22/1999
[3] Ini terjadi karena pemerintah pusat menganggap BPD sebagai lembaga tukang kritik dan pengganggu stabilitas politik di desa
[4] Cara yang paling halus yang dilakukan oleh BPD adalah dengan “tidak mau” merubah dirinya menjadi Bamusdes. Lagipula, di banyak desa seperti di Bantul, Gunung Kidul, dan di Sleman, kepala desa, masyarakat dan perangkat desa, tetap mempertahankan BPD.
[5] Swadaya adalah tolak ukur partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang perlu dikritisi mengingat penetrasinya yang kian jauh telah mengurangi beban dan tanggungjawab negara terhadap masyarakat desa, dialihkan menjadi beban dan tanggungjawab masyarakat terhadap desa
Jumat, 30 November 2007
Demokrasi Bablazzz!
DEMOKRASI KEBABLASAN
Pelimpahan kewenangangan dari pusat ke daerah yang ditandai dengan bergulirnya otonomi daerah ternyata tidak selalu membawa angin segar bagi perkembangan demokratisasi. Sejarah menoreh perjalanan ini masih menuai kontroversi, mulai dari ketimpangan regulasi yang mengatur hingga menjamurnya para raja-raja baru di daerah.
Setidaknya konflik yang terjadi dibeberapa daerah akhir-akhir ini menjadi pembelajaran untuk kembali melirik lebih jauh proses pejalanan demokrasi di aras lokal. Harus dicermati, bahwa ini adalah impact dari salah satu konsekuensi demokratisasi yang oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan diselenggarakannnya pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Dari beberapa kasus penyelenggaraan pilkada setidaknya ada tiga faktor yang mendasari, pertama ketidaksiapan masyarakat dalam menhadapi proses Pilkada. Secara kultur masyarakat kita masih kental dengan budaya gotong-royong, musyawarah dan mufakat dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Bahkan dalam satu daerahpun beragam cara, berdasarkan etnis dan adat istiadat yang berlaku. Maka bisa dipastikan ketika model "baru" yang dinamakan demokrasi mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan setiap indivisu dalam masyarakat. Secara perlahan pula pergeseran budaya akibat penyelenggaraan model "baru" ini mulai terasa, maka konflik interest ketika penyelenggaraan Pilkada semakin meruncing. Konflik horizontal dalam proses Pilkada kerap kali berakhir dengan kerusuhan dan pengrusakan masal yang justru merugikan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang acap kali kita jumpai dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, para elite lokal memainkan peran sebagai aktor yang seolah mampu menjadi "malaikat" atas ketidakpuasan pelayanan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini regulasi yang mengatur gawe demokrasi lokal belum menyentuh hingga bagaimana menyelamatkan nilai-nilai lokal yang sudah ada untuk tetap dipertahankan sebagai local wisdom, sehingga kepentingan individu dan golongan dalam sebuah masyarakat tidak harus larut dalam konflik kepentingan elite bahkan partai politik.
Kedua, proses demokratisasi lokal tidak murah (high cost democrasi). Regulasi UU 32 Tahun 2004 telah menghantarkan para pemimpin kepala daerah pada puncak egoisme kepentingan. Kekalahan dalam pentas Pilkada kerap kali menjadi pemicu mobilisasi massa meluapkan ketidakpuasan, hingga melakukan tindakan-tindakan anarkis bahkan mengancam keselamatan jiwa. Setidaknya hal in terjadi pada kasus Pilkada di Tuban Jawa Timur beberapa waktu lalu. Hal ini justru tidak hanya merugikan para aktor-aktor yang berlaga dalam Pilkada, akan tetapi juga milyaran APBD yang harus dibayarkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lokal tersebut.
Ketiga, kegagalan partai politik dalam proses kaderisasi memainkan peranan penting dalam proses kebuntuan demokratisasi lokal. Dengan demikian walaupun dengan adanya Pilkada, demokrasi ditingkat lokal akan menjadi tidak sempurna. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya hubungan baik antara partai politik dan civil society[1]. Maka wajar kiranya pertanyaan besar muncul selepas Pilkada, kemanakah arah orientasi demokratisasi lokal?
Pelimpahan kewenangangan dari pusat ke daerah yang ditandai dengan bergulirnya otonomi daerah ternyata tidak selalu membawa angin segar bagi perkembangan demokratisasi. Sejarah menoreh perjalanan ini masih menuai kontroversi, mulai dari ketimpangan regulasi yang mengatur hingga menjamurnya para raja-raja baru di daerah.
Setidaknya konflik yang terjadi dibeberapa daerah akhir-akhir ini menjadi pembelajaran untuk kembali melirik lebih jauh proses pejalanan demokrasi di aras lokal. Harus dicermati, bahwa ini adalah impact dari salah satu konsekuensi demokratisasi yang oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan diselenggarakannnya pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Dari beberapa kasus penyelenggaraan pilkada setidaknya ada tiga faktor yang mendasari, pertama ketidaksiapan masyarakat dalam menhadapi proses Pilkada. Secara kultur masyarakat kita masih kental dengan budaya gotong-royong, musyawarah dan mufakat dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Bahkan dalam satu daerahpun beragam cara, berdasarkan etnis dan adat istiadat yang berlaku. Maka bisa dipastikan ketika model "baru" yang dinamakan demokrasi mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan setiap indivisu dalam masyarakat. Secara perlahan pula pergeseran budaya akibat penyelenggaraan model "baru" ini mulai terasa, maka konflik interest ketika penyelenggaraan Pilkada semakin meruncing. Konflik horizontal dalam proses Pilkada kerap kali berakhir dengan kerusuhan dan pengrusakan masal yang justru merugikan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang acap kali kita jumpai dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, para elite lokal memainkan peran sebagai aktor yang seolah mampu menjadi "malaikat" atas ketidakpuasan pelayanan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini regulasi yang mengatur gawe demokrasi lokal belum menyentuh hingga bagaimana menyelamatkan nilai-nilai lokal yang sudah ada untuk tetap dipertahankan sebagai local wisdom, sehingga kepentingan individu dan golongan dalam sebuah masyarakat tidak harus larut dalam konflik kepentingan elite bahkan partai politik.
Kedua, proses demokratisasi lokal tidak murah (high cost democrasi). Regulasi UU 32 Tahun 2004 telah menghantarkan para pemimpin kepala daerah pada puncak egoisme kepentingan. Kekalahan dalam pentas Pilkada kerap kali menjadi pemicu mobilisasi massa meluapkan ketidakpuasan, hingga melakukan tindakan-tindakan anarkis bahkan mengancam keselamatan jiwa. Setidaknya hal in terjadi pada kasus Pilkada di Tuban Jawa Timur beberapa waktu lalu. Hal ini justru tidak hanya merugikan para aktor-aktor yang berlaga dalam Pilkada, akan tetapi juga milyaran APBD yang harus dibayarkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lokal tersebut.
Ketiga, kegagalan partai politik dalam proses kaderisasi memainkan peranan penting dalam proses kebuntuan demokratisasi lokal. Dengan demikian walaupun dengan adanya Pilkada, demokrasi ditingkat lokal akan menjadi tidak sempurna. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya hubungan baik antara partai politik dan civil society[1]. Maka wajar kiranya pertanyaan besar muncul selepas Pilkada, kemanakah arah orientasi demokratisasi lokal?
Reform Agraria
REKLAIM TANAH HUTAN:
Tipe-tipe Reforma Agraria dari Bawah di Dataran Tinggi
Sulawesi Tengah[1]
Oleh: MT Felix Sitorus[2]
Abstract
The present paper describes forms of forest land reclaiming by three village communities around the Lore Lindu National Park. The reclaiming process by the three village communities are typified by the author as ‘agrarian reform by leverage’, in other words an agrarian reform process from below based on local initiative. Despite these common characteristics, each village demonstrates a distinctive type of agrarian reform from below, which the author typified as the ‘annexation’ type, the ‘cultivation’ type and the ‘integration’ type.
1. Pendahuluan
Tulisan ini mengkaji gerakan rakyat berupa reklaim tanah yang meluas di pedesaan Indonesia sejak 1998, menyusul kejatuhan rejim Soeharto. Berbeda dari pemerintah yang melihat gerakan itu sebagai pendudukan illegal, saya menggunakan konsep reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) sebagai alat analisa untuk membingkai dan menerangkan gerakan tersebut. Dengan reforma agraria dari bawah dimaksudkan adalah reforma agraria aras lokal yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh komunitas lokal.
Sebelum masuk pada analisis, saya perlu menjelaskan kerangka analisis terlebih dahulu. Saya terilhami oleh gagasan Moore tentang tiga jalur menuju modernitas yaitu revolusi “dari atas” (oleh kelas penguasa), “dari tengah” (oleh kelas pemodal), dan “dari bawah” (oleh kelas petani) dalam suatu masyarakat (Moore, 1966). Karena artikulasi jalur-jalur itu untuk sebagian merujuk pada revolusi agraria, maka gagasan tersebut memiliki relevansi dengan reforma agraria. Dapat saya katakan, menurut sumber inisiatif, reforma agraria dapat dimotori oleh kelas penguasa (pemerintah), atau kelas pemodal (swasta), atau kelas petani (komunitas lokal). Secara berurutan jalur-jalur itu dapat disebut sebagai reforma agraria “dari atas”, “dari tengah”, dan “dari bawah”.
Gagasan tentang jalur-jalur reforma agaraia itu menunjuk pada tiga pelaku utama yaitu pemerintah, swasta, dan komunitas (petani). Sejalan dengan itu struktur agraria ataupun gerakan reforma agraria dapat digambarkan sebagai hubungan sosio-agraria triangular yang melibatkan ketiga pelaku tersebut di atas. Pusat hubungan adalah akses terhadap sumber-sumber agraria. Artinya, hubungan sosio-agraria hadir dalam konteks akses para pelaku terhadap sumber-sumber agraria (Sitorus, 2004a).
Studi-studi terdahulu tentang hubungan kelas, kekuasaan, dan perubahan agraria di pedesaan Indonesia, misalnya di dataran rendah Jawa (Pincus, 1996) dan di dataran tinggi Sulawesi (Sitorus, 2002), telah menuntun saya pada suatu tesis bahwa di belakang akses terhadap sumber-sumber agraria selalu hadir kekuasaan, dan di belakang kekuasaan hadir akses itu sendiri. Sejalan dengan itu, hubungan antara akumulasi sumber-sumber agraria dan akumulasi kekuasaan adalah suatu dialektika. Semakin besar kekuasaan pelaku, semakin besar pula aksesnya terhadap sumber-sumber agraria, dan sebaliknya juga berlaku. Karena itu terdapat alasan bagi setiap pelaku untuk mengakumulasi kekuasaan. Pemerintah mengakulasi kekuasaan politik, pemodal mengakumulasi kekuasaan ekonomi, dan petani mengakumulasi kekuasaan sosial. Tetapi, karena kekuasaan majemuk pada dasarnya lebih efektif dibanding kekuasaan tunggal, setiap pelaku itu senantiasa berupaya meraih dukungan kekuasaan dari pelaku-pelaku lainnya.
Dengan kerangka analisis di atas, dan sejalan dengan fokus analisis, maka dapat saya katakan bahwa kekuasaan sosial akan lebih efektif menggerakkan reforma agraria apabila didukung khususnya oleh kekuasaan politik. Tiga kasus komunitas tepi hutan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dataran tinggi Sulawesi Tengah, akan dipaparkan dan dianalisis di sini seturut kerangka analisis tersebut. Ketiga kasus itu dinamai di sini menurut nama lokasinya yaitu Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Di lokasi-lokasi tersebut berkembang gerakan reklaim tanah hutan yang di sini dan kini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah. Dongi-dongi adalah pemukiman informal baru di dalam TNLL; Sintuwu adalah desa yang berbatasan dengan TNLL; dan Toro adalah satu desa enklaf di dalam TNLL.
Sebagai bagian dari Stability of Tropical Forest Margin Project Research, penelitian di tiga lokasi kasus dilakukan dengan strategi studi kasus. Tiap studi kasus difokuskan pada gerakan reklaim tanah hutan yang kini menjadi masalah pokok baik bagi Balai TNLL maupun bagi komunitas setempat. Data dikumpulkan melalui pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, dan kajian dokumen secara triangular. Dengan menggunakan kerangka analisis reforma agraria dari bawah, analisa data saya arahkan pada pemaparan tentang detil kasus-kasus dan suatu diskusi tentang reforma agraria dari bawah.
2. Tiga Tipe Reforma Agraria dari Bawah
Taman Nasional Lore Lindu (217,991 ha) terletak di jantung pulau Sulawesi. Kawasan taman ini adalah penyatuan dari dua kawasan suaka alam (Suaka Alam Lore Kalamanta dan Suaka Alam Lore Lindu) dan satu kawasan lindung (Kawasan Hutan Lindung/Wisata Danau Lindu) (Wirawan et al., 1995). Penyatuan tersebut dilakukan tahun 1982 pada kesempatan The Third World National Park Conference di Bali. Tetapi proses perubahan ketiga kawasan lindung tersebut menjadi satu kawasan taman nasional dengan batas-batas yang permanen sesungguhnya sudah berlangsung sekitar 15 tahun (1982 – 1997).
Keseluruhan areal TNLL berada dalam wilayah administratif Kecamatan Kulawi dan Palolo, Kabupaten Donggala dan Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut data statistik tahun 1997, terdapat 78 desa di ketiga kecamatan tersebut. Sejumlah 47 (60 persen) dari total desa itu berbatasan langsung dengan TNLL. Keseluruhan wilayah desa-desa di tepian TNLL itu mencakup sekitar 54 persen (3.416 km2) dari total areal desa dengan jumlah penghuni sekitar 67 persen (43.452 jiwa) dari total penduduk. Kepadatan penduduk sedikit lebih tinggi di desa-desa yang berbatasan dengan TNLL (13 jiwa/km2) dibanding rata-rata keseluruhan (10 jiwa/km2) (Sunito et all., 1999).
Data di atas memberi indikasi tentang kemungkinan penduduk untuk menerabas batas TNLL, mengingat kepadatan penduduk cenderung meningkat, sementara kegiatan pertanian masih tetap menjadi mata pencaharian utama. Beberapa studi terbaru telah memberikan bukti-bukti bahwa pertumbuhan penduduk, antara lain karena masuknya pendatang, telah menjadi suatu faktor yang mendorong perluasan areal pertanian ke dalam kawasan hutan TNLL (Maertens et al., 2002; Faust et al., 2003). Dari sudut pandang ekologi ekspansi tersebut jelas merupakan proses destabilisasi hutan. Tetapi dari sudut pandang sosio-agraria, ia dapat dipandang sebagai proses stabilisasi komunitas tepian hutan, jika ia dipahami sebagai suatu cara untuk mengatasi kesenjangan akses terhadap sumberdaya tanah.
Berdasar moda gerakan reklaim tanah, guna membingkai fakta reklaim penduduk atas hutan pemerintah di TNLL, saya mengembangkan tipologi reforma agraria dari bawah yang saya sebut tipe-tipe aneksasi, kultivasi, dan integrasi. Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok-tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Sebaliknya integrasi adalah tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan. Kultivasi berada di antara kedua tipe yang bertentangan itu. Kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah hutan yang direklaim: di satu sisi ia direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di lain sisi ia masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman oleh Balai TNLL.
Mengingat setiap tipe reforma agraria dari bawah itu merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah, sebagaimana disinggung di atas, maka ia memberi indikasi adanya dukungan kekuasaan di belakang. Ini akan menjadi jelas dalam paparan kasus-kasus berikut: kasus aneksasi Dongi-dongi, kasus kultivasi Sintuwu, dan kasus integrasi Toro.
2.1. Tipe aneksasi: kasus Dongi-dongi[3]
Areal Dongi-dongi berada di dalam TNLL terentang sepanjang kilometer 66-79 di jalan provinsi pada ruas Palolo – Napu. Areal itu mencakup 3.500 ha tanah hutan di dua desa yaitu Sedoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala dan Tongoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kendati sebagian besar areal Dongi-dongi berada di Kecamatan Lore Utara, secara geografis ia lebih dekat ke Kecamatan Palolo. Dongi-dongi adalah areal dataran tinggi, berada 1.100 m di atas permukaan laut di hulu daerah aliran sungai Sopu-Gumbasa. Menurut draft dokumen Taman Nasional Lore Lindu – Rencana Manajemen 25 Tahun, areal Dongi-dongi termasuk dalam ketegori Zona Inti.
Pada 19 Juni 2001 sejumlah warga desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat yang terorganisir dalam Forum Petani Merdeka (FPM) mengumumkan pendudukan Dongi-dongi di depan DPRD Sulawesi Tengah. Keempat desa tersebut berada di Kecamatan Palolo, berbatasan dengan TNLL, dan dihuni oleh komunitas-komunitas pindahan dari desa-desa dataran tinggi sekitarnya tahun 1973, 1978 dan 1979, melalui proyek-proyek pemukiman-ulang (resetlement) yang ditangani oleh Departemen Sosial, Departemen Transmigrasi, dan Departemen Kehutanan. Dua bulan selepas pengumuman tadi, sekitar 63.5 ha areal hutan Dongi-dongi telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman darurat, dengan melibatkan sejumlah 1.030 rumahtangga sebagai pelaku (Setyo and Neville, 2001). Satu tahun kemudian, areal bukaan tersebut telah meluas secara cepat hingga mendekati luas 3.400 ha (Kompas, 7 Augustus 2002).
Pendudukan hutan Dongi-dongi itu disebut sebagai aneksasi karena ia merujuk pada pendirian pemukiman dan upaya pengukuhan hak milik atas tanah sekaligus. Sekurangnya ada tiga faktor yang muncul ke permukaan dalam kasus aneksasi Dongi-dongi tersebut. Pertama, masalah agraria di desa-desa pemukiman-ulang. FPM berencana membuka hutan Dongi-dongi untuk keperluan pertanian lahan kering, perkebunan kopi dan kakao, dan pengumpulan rotan karena ketersediaan lahan di desa-desa pemukiman-ulang tidak mencukupi lagi untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Mereka melakukan tekanan terhadap DPRD agar meminta pemerintah memenuhi kekurangan lahan seluas 2.0 ha per rumahtangga yang dijanjikan kepada mereka, setelah pemerintah sejauh ini baru membagikan seluas 0.8 ha saja.
Kedua, perubahan rejim kehutanan. Pada dasarnya kondisi hutan Dongi-dongi adalah cerminan dari perubahan rejim sumberdaya hutan. Dalam periode 1976-1981, hutan Dongi-dongi tergolong sebagai areal hutan konsesi P.T. Kebun Sari, sebuah perusahaan perkayuan. Di bawah kondisi tersebut komunitas dari sembilan desa sekitar (Sintuwu, Bobo, Sigimpu, Bakubakulu, Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B, and Tongoa) masih memiliki akses terhadap sumberdaya hutan dan tidak dilarang untuk mengumpul rotan, menanam kopi, kakao, jagung, padi gogo, dan ubi kayu (Syahyuti, 2002: 66; Sondakh, 2002: 73).
Di awal 1980-an kegiatan pengusahaan kayu menurun tajam karena volume kayu meranti di hutan Dongi-dongi ternyata lebih kecil dari perkiraan semula (Sondakh, 2002). Sementara itu pada tahun 1981 kawasan hutan Lore Lindu, yang tumpang-tindih dengan areal konsesi P.T. Kebun Sari yang izinnya masih berlaku efektif kendati kegiatan eksploitasi telah berkurang, ditetapkan pemerintah sebagai kawasan suaka alam. Kebijakan kehutanan yang bersifat dualistik sekaligus antagonistik ini berlangsung di Dongi-dongi selama sekitar 11 tahun, sampai kemudian izin konsesi hutan P.T. Kebun Sari berakhir, dan areal hutan itu dikembalikan kepada pemerintah tahun 1993. Enam tahun kemudian areal hutan Dongi-dongi bersama dengan dua kawasan lindung lainnya menjadi satu unit manajemen yaitu TNLL. Dalam pandangan penduduk setempat, perubahan status hutan dari hutan produksi menjadi kawasan suaka alam dan kemudian taman nasional adalah suatu ancaman terhadap sumber penghidupan, tidak lain karena ia merubah rejim hutan dari akses terbuka menjadi akses tertutup.
Sebelum Dongi-dongi diduduki oleh FPM tanggal 19 Juni 2001, tercatat pernah sebanyak empat kali penduduk setempat mencoba memanfaatkan hutan Dongi-dongi untuk areal usahatani dan pemukiman. Pertama, tahun 1981 warga desa Bunga pernah sempat menduduki Village base camp P.T. Kebun Sari; kedua, tahun 1982 warga Kamarora mencoba membangun pemukiman di Dongi-dongi; ketiga, pada bulan Mei 1998 sekitar 450 rumahtangga, kebanyakan pengusaha kecil dari desa-desa Rahmat, Kamarora, Kadidia, Balompea dan Dangaran membuka 50 ha hutan Dongi-dongi; dan keempat, tahun 1999 sekitar 40 orang warga membuka hutan seluas sekitar 50 ha lagi. Tetapi, semua upaya percobaan pendudukan itu berhasil digagalkan oleh polisi hutan dan 80 orang warga sempat ditahan polisi terkait masalah itu (Forum Petani Merdeka, et al. 2001:3; Sangaji 2001a:8).
Uraian di atas mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan negara tentang status hutan dari hutan produksi ke hutan lindung, yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-agraria di desa-desa sekitar, telah menciptakan konflik jangka panjang berkenaan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Konflik yang terjadi kemudian adalah konflik vertikal antara pemerintah dan komunitas lokal.
Ketiga, dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pendudukan Dongi-dongi masih berlanjut saat tulisan ini dibuat. FPM didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan dan Yayasan Bantuan Hukum Rakyat. Keterlibatan dua LSM ini dengan segera menarik berbagai pihak terkait ke arena diskursus dan perjuangan politik. Mereka yang terlibat antara lain adalah penduduk Dongi-Dongi, LSM lokal, pemerintah lokal, Balai TNLL, DPRD Sulawesi Tengah, WALHI Jakarta, serta The Nature Conservacy (TNC) and CARE yang berkiprah di Sulawesi Tengah. Berbagai pihak tersebut pada mulanya mendukung konservasi TNLL, tetapi kemudian pecah menjadi kubu-kubu “pro” dan “kontra” atas pendudukan Dong-dongi.
Dampak lebih jauh dari pendudukan Dongi-dongi adalah peningkatan secara tajam kegiatan pencurian kayu (illegal logging) dan pengumpulan rotan oleh para pemukim. Kegiatan pencurian kayu berlangsung nyaris tanpa kesulitan karena mendapat dukungan dari sejumlah aparat keamanan, tentara, dan aparat pemerintah daerah. Hanya dalam tempo dua tahun, dampak negatif pencurian kayu itu sudah terasakan: korban jiwa (seorang pemukim Dongi-dongi meninggal dunia ditembak seorang polisi hutan) dan gangguan ekologis (banjir besar telah menyapu sebagian Dongi-dongi).
2.2. Tipe kultivasi: kasus Sintuwu[4]
Sintuwu, suatu desa yang relative padat penduduk di Kecamatan Palolo, telah berkembang dalam 30 tahun terakhir melalui proses migrasi multi-etnik. Komunitas desa tersebut terdiri dari lebih empat kelompok etnik (Kaili, Kulawi, Bugis, Toraja, dan lainnya), tetapi Kaili dan Bugis tampil sebagai dua kelompok utama. Orang Kaili adalah perintis desa yang sudah masuk ke wilayah itu sejak 1961. Mereka mengklaim diri sebagai “penduduk asli”, sementara orang Bugis disebut “pendatang”.
Dalam tahun-tahun 1960-an dan 1970-an formasi sosial Sintuwu dicirikan oleh dominasi produksi subsisten, khususnya usahatani padi sawah dan jagung. Tetapi, sekitar pertengahan 1980-an kakao diperkenalkan dan selanjutnya diusahakan secara luas, dalam cara yang kapitalistik, sebagai suatu tanaman “emas” baru. Sebagai konsekuensinya, sekurangnya sejak awal 1990-an, ketika usahatani kakao secara cepat meluas ke seluruh wilayah desa, dominasi cara produksi bergeser dari subsisten ke komersil atau kapitalis kecil (petty capitalist). Gejala ini kemudian disebut sebagai Revolusi Cokelat.”
Data pasti mengenai areal perkebunan kakao tidak tersedia, tetapi data tata guna tanah dapat dirujuk untuk menerangkan situasi. Setidaknya dalam tahun 1990-an, Sintuwu mengalami suatu perubahan drastis dalam tata guna tanah. Pada tahun 1998, data resmi Kecamatan Palolo mengindikasikan bahwa usahatani lahan kering (647 ha, 34%) bersama dengan areal perkebunan (491 ha, 25%), telah mendominasi ekologi desa, sementara areal sawah hanya tinggal sedikit (75 ha, 4%). Karena usahatani lahan kering juga mencakup pertanaman kakao (dalam pola tumpang-sari), dan areal perkebunan didominasi oleh tanaman kakao, maka dapat dikatakan hampir 60 persen dari wilayah desa ditutupi oleh kebun kakao. Tambahan lagi pekarangan juga ditanami kakao sehingga areal kebun kakao di Sintuwu pastilah lebih luas dari yang ditunjukkan data resmi.
Tata guna tanah yang kini berlangsung di Sintuwu adalah hasil pergeseran cara produksi dominan dari subsisten menjadi komersil atau kapitalis kecil. Dalam periode 1992-1998 hampir 72 persen dari lahan sawah di Sintuwu dikonversi menjadi kebun kakao, sehingga luas areal persawahan menurun drastis dari 270 ha tahun 1992 menjadi hanya 75 ha tahun 1998. Alasan utama konversi lahan sawah tersebut adalah harga tinggi kakao, sekurangnya sampai paruh pertama 1990-an.
Tidak diragukan lagi, pada tahun 1990-an usahatani kakao adalah komoditas penghasil keuntungan di Sintuwu. Dalam dekade itulah perluasan kebun kakao di Sintuwu berlangsung secara drastis dalam dua cara. Cara pertama adalah konversi areal pertanian subsisten, yaitu lahan sawah, ladang jagung, dan pekarangan menjadi kebun kakao. Konversi tanah menjadi kebun kakao terutama dilakukan oleh orang Bugis, yang membeli lahan sawah dan lahan kering dari umumnya orang Kaili.
Cara kedua untuk perluasan, yang dicap ilegal oleh Balai TNLL, adalah merambah hutan dan menanaminya dengan kakao. Ini terutama dilakukan oleh orang Kaili dengan cara mereklaim hutan yang kini tercatat sebagai kawasan LLNP. Tidak ada data pasti tentang skala perambahan, tetapi informan memperkirakan bahwa pada pertengahan 2001 warga Sintuwu telah mengusahakan sekitar 100 ha di dalam kawasan TNLL. Inilah yang saya sebut sebagai reforma agraria dari bawah dengan tipe kultivasi.
Penjelasan untuk reklaim dan pengusahaan tanah hutan dapat ditarik dari gejala “Revolusi Cokelat”. Revolusi ini telah membawa sedikitnya dua perubahan nyata di Sintuwu, yaitu privatisasi tanah dan akumulasi surplus berikut pembentukan modal. Semenjak usaha kakao mendominasi kegiatan ekonomi, dan bersamaan dengan itu mayoritas sumberdaya tanah di dalam desa telah beralih ke tangan orang Bugis melalui pembelian, gejala pemilikan pribadi atas tanah jelas terbaca melalui proses sertifikasi tanah. Peralihan hak milik tanah dari Kaili ke Bugis, mengindikasikan gejala kedua, yaitu akumulasi surplus khususnya di kalangan orang Bugis. Lazimnya, begitu orang-orang Bugis berhasil mengakumulasi surplus dari kebun kakao, selanjutnya mereka akan menggunakan surplus itu untuk mengakumulasi modal dengan cara membeli lagi tanah dari “penduduk asli”. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa “Revolusi Cokelat” telah mengangkat orang Bugis menjadi golongan “tuan tanah baru”, tetapi sebaliknya menjatuhkan orang Kaili menjadi golongan “tunakisma baru”.
Jelas bahwa di bawah ekonomi kakao orang Kaili mengalami penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi, sementara orang Bugis sebaliknya mengalami peningkatan. Kebun kakao telah menjadi indikator kesejahteraan sosial-ekonomi di kalangan warga Sintuwu. Orang Kaili, sudah barang tentu, sangat ingin juga mengusahakan kakao secara luas, seperti halnya orang Bugis. Tetapi mereka dihadapkan pada masalah kelangkaan tanah di dalam desa, karena mayoritas lahan telah dikuasai oleh orang Bugis. Situasi ini menimbulkan semacam kecemburuan di pihak orang kaili dan, pada taraf tertentu, menimbulkan juga ketegangan sosial di antara kedua kelompok etnik utama itu.
Untuk mengatasi masalah penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi tersebut, orang kaili kemudian mencari basis baru di luar desa dan menemukan kawasan hutan sebagai alternative terbaik. Orang Kaili kemudian merambah kawasan hutan TNLL dan mengusahakan kakao secara luas di sana. Perambahan tersebut tentu saja mengantarkan orang Kaili ke arena sengketa tanah dengan Balai TNLL. Di satu pihak Balai TNLL menyatakan bahwa orang Kaili telah menerobos batas taman nasional dan menuduh mereka sebagai perambah tanah hutan. Di lain pihak orang Kaili tidak menerima batas taman nasional hasil penetapan tahun 1982. Menurut mereka batas taman nasional telah masuk menjajah sejauh sekitar dua kilometer ke dalam desa, diukur dari “batas tradisional” di dalam hutan. Pada kenyataannya orang Kaili telah membuka dan menanami tanah hutan jauh hari sebelum batas resmi taman nasional ditetapkan secara sepihak tahun 1982. Bercocok-tanam di dalam kawasan hutan adalah cara orang Kaili mengakumulasi basis ketahanan sosial-ekonomi, semenjak mereka termarginalisasi oleh “Revolusi Cokelat”.
Bagaimanapun juga, bercocok-tanam di dalam kawasan hutan TNLL adalah kegiatan illegal. Tetapi di aras lokal kegiatan itu didukung oleh kepala desa dengan mengeluarkan Surat Keterangan Pengolahan Lahan bagi setiap rumahtangga Kaili yang membuka hutan untuk usaha kebun kakao. Dapat dikatakan bahwa di balik pengusahaan tanah hutan oleh orang Kaili terdapat kekuasaan politik kepala desa. Pada kenyataannya kepala desa adalah pemimpin reklaim tanah hutan, karena ia sendiri telah memberi contoh dengan mengusahakan setidaknya sebidang tanah di dalam kawasan TNLL. Ia juga memimpin rakyatnya dalam suatu kesempatan unjuk rasa tahun 1998 di Balai TNLL, dalam rangka memperjuangkan hak berusahatani di dalam kawasan hutan. Hasil unjuk rasa itu adalah suatu kesepakatan: penduduk desa memiliki hak atas tanaman (khususnya kakao dan kopi) sementara negara (Balai TNLL) tetap memiliki hak atas tanah hutan.
2.3. Tipe integrasi: kasus Toro[5]
Toro terletak di atas lembah Kulawi di sebelah barat kawasan TNLL. Dikitari oleh hutan taman nasional di sebelah timur, selatan, dan utara, ia dapat disebut sebagai desa enklaf di dalam TNLL. Desa ini dihuni oleh sekitar 540 rumahtangga, sebagian terbesar di antaranya termasuk dalam kelompok etnik Toro.
Total luas wilayah Toro adalah 22.950 ha tetapi hanya sekitar 1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya adalah tanah hutan dan bagian dari TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen itu adalah sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha ditanami palawija atau kakao dan kopi. Dengan sedikit perkecualian, seluruh rumahtangga di Toro hidup dari pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan antara lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar.
Struktur pemilikan tanah di Toro tidak mengindikasikan distribusi yang ekstrim. Hanya ada sejumlah kecil rumahtangga yang menguasai lebih dari 5.0 ha tanah, termasuk di dalamnya penguasaan sawah seluas lebih dari 2.0 ha. Sekitar 80 unit rumahtangga menguasai tanah kurang dari 0.5 ha; bagi mereka akses ke sumberdaya hutan sangat penting untuk menjamin nafkah. Hal serupa juga benar untuk lebih dari 200 unit rumahtangga yang memiliki tanah kurang dari 1.0 ha, terlebih jika pemilikan tanah itu tidak mencakup sawah.
Akses penduduk desa terhadap sumberdaya hutan secara resmi ditutup tahun 1982, ketika otoritas pemerintah menarik garis batas antara wilayah desa dan kawasan hutan TNLL. Penetapan garis batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan aturan adat setempat dan juga tidak memperhatikan pola pemanfaatan tanah yang berlaku setempat. Satu hal yang pasti, pelanggaran terhadap batas TNLL akan diganjar dengan sanksi berat.
Situasi ini berubah drastis pada pertengahan Juli 2000, ketika hak adat masyarakat Toro atas tanah desa diakui oleh Balai TNLL. Balai TNLL mengeluarkan pernyataan pengakuan atas 18.360 ha tanah desa yang berada di dalam taman nasional, sebagai tanah adat yang dikelola di bawah tanggung jawab masyarakat Toro. Hal ini yang saya sebut sebagai integrasi manajemen tanah hutan ke dalam lingkungan otonomi masyarakat, yang dapat dipahami sebagai sebuah reforma agraria dari bawah. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, wilayah hutan adat tersebut masih tetap menjadi bagian dari TNLL, sehingga dapat disimpulkan bahwa desa Toro sampai taraf tertentu juga terintegrasi dengan manajemen TNLL.
Proses lokal pencapaian keberhasilan tersebut, yang dapat disebut sebagai proses ”pembelajaran organisasi” (learning organization), telah melewati perjuangan panjang sejak 1997. Perjuangan dimulai sejak LSM lokal, yakni Yayasan Tanah Merdeka (YTM), memasuki Toro dengan misi meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak politik mereka. Inisiatif ini memicu tokoh-tokoh pimpinan desa untuk menggali dan merevitalisasi norma adat yang pernah menjadi perangkat utama untuk mengatur hubungan manusia-manusia dan hubungan manusia-alam di masa lalu, dan juga aturan-aturan adat yang masih berlaku saat ini.
Setelah melalui proses wawancara panjang dengan tetua desa dan pendokumentasian yang rinci, mereka berhasil menggali kembali kearifan tradisional Toro berkenaan dengan ekologi hutan. Menurut kearifan tradisional tersebut kawasan hutan terbagi ke dalam beragam tipe pemanfaatan menurut status perlindungannya, yaitu: (a) Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang secara ekologi paling rapuh sehingga dilarang untuk ditanami, (b) Wana yaitu kawasan hutan primer tempat hasil-hasil hutan dapat diambil secara selektif, (c) Pangale yaitu kawasan hutan sekunder yang pernah ditanami dan diperbolehkan untuk ditanami kembali, (d) Oma yaitu kawasan hutan yang dialokasikan untuk pertanian lahan kering. Selanjutnya, atas dasar pengetahuan ini, masyarakat Toro dengan dibantu oleh oleh YTM membuat peta tanah adat Toro yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mereklaim tanah desa (Sohibuddin, 2003).
Tentu saja, di samping kehadiran LSM lokal, ada juga faktor-faktor eksternal lain yang berperan penting dalam proses di atas. Salah satunya adalah pemberlakuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang mengakhiri periode panjang pemerintahan dan kontrol politik yang sentralistik dengan memberikan otonomi secara substansi kepada daerah. Di tingkat desa undang-undang ini memberikan ruang kepada masyarakat desa untuk lebih berpartisipasi dalam mengatur urusan pemerintahan dan politik mereka. Undang-undang ini juga memungkinkan tumbuhnya institusi desa yang baru, dan pemulihan kembali institusi desa yang lama (seperti lembaga-lembaga adat), serta menempatkan pemimpin desa di bawah kontrol demokrasi. Di Toro undang-undang ini memberikan sumbangan besar dalam penciptaan semangat ”kebangkitan”. Faktor kondusif lainnya adalah pendekatan manajemen TNLL yang ”berorientasi manusia”, yang mencoba mendamaikan kepentingan perlindungan hutan dan kebutuhan komunitas sekitarnya.
Dampak keberhasilan ini adalah suatu perubahan struktural. Tadinya, begitu hutan dinyatakan sebagai milik negara, lembaga adat di Toro dan juga di desa-desa lain di sekitar TNLL, tidak dimungkinkan lagi mengambil inisiatif untuk resolusi konflik terkait pemanfaatan sumberdaya hutan secara ilegal. Keterlibatan semacam itu dianggap sebagai ancaman terhadap intervensi negara. Tetapi, karena kekurangan tenaga, dalam prakteknya Balai TNLL tidak mampu mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga perambahan hutan tetap saja merajalela. Sekarang, resolusi konflik resolusi atas masalah-masalah hutan di Toro secara eksklusif ditangani oleh lembaga adat.
Meskipun praktek pengaturan internal merupakan hal yang biasa di desa-desa sekitar wilayah TNLL, kasus Toro memperlihatkan beberapa kekhususan. Di sana, sesuai dengan komposisinya, lembaga adat merepresentasikan kekuatan-kekuatan sosial tradisional, keagamaan, dan modern/sekuler. Yuridiksinya juga sangat kukuh dan tak terbantahkan. Hal yang lebih penting lagi adalah keberadaan sistem hukuman berjenjang yang telah berkembang di masa lalu dan masih hidup dalam pengetahuan ekologi komunitas lokal.
3. Diskusi
Seperti telah dijelaskan dimuka, di balik akses pada sumberdaya tanah terdapat basis kekuasaan. Artinya, di belakang setiap pelaku reforma agraria pada kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu dan Toro, terdapat dukungan kekuasaan. Dalam ketiga kasus tersebut, para pelaku utama adalah Balai TNLL dan komunitas lokal. Suatu pertanyaan kemudian dapat diajukan: apa saja tipe-tipe dan sumber-sumber kekuasaan yang mereka miliki.
Balai TNLL memiliki akses atas wilayah hutan lindung berdasarkan kekuasaan politik yang dikukuhkan oleh seperangkat peraturan dan perundangan negara. Kawasan lindung di Indonesia seperti TNLL diatur dan dikelola oleh negara berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan (menggantikan UU Nomor 5/1967 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Kehutanan), UU Nomor 5/1990 tentang Pelestarian Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU Nomor 24/1992 tentang Tata Ruang, UU Nomor 5/1974 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keragaman Hayati, dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan (menggantikan UU Nomor 4/1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan). Sebagai tambahan, UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria terkait erat dengan pengelolaan kawasan-kawasan yang dilindungi. Semua undang-undang tersebut merupakan sumber kekuasaan dalam arti otoritas bagi negara, yang direpresentasikan oleh Balai TNLL, untuk mengontrol dan mengelola kawasan hutan lindung Lore-Lindu secara eksklusif.
Bagaimanapun juga, hukum dan kebijakan negara atas wilayah yang dilindungi tersebut, khususnya yang berhubungan dengan taman nasional, mengandung sejumlah masalah kritis. Pertama, tafsir yang berlaku umum atas UU Kehutanan (UU No.41/1999) dan UU Pelestarian (UU No. 5/1990) masih merujuk pada Domain Verklaaring warisan pemerintah kolonial. Dengan tafsir seperti itu, kedua undang-undang itu memberikan kepada negara suatu hak legal yang bersifat eksklusif untuk mengontrol sumberdaya hutan, termasuk hak-hak untuk mengesahkan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumberdaya. Kebijakan dan hukum negara semacam itu membawa implikasi bahwa jika suatu wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan lindung, baik sebagai kawasan suaka alam maupun sebagai kawasan pelestarian alam, maka wilayah tersebut menjadi tertutup untuk kegiatan pemanfaatan secara tradisional, antara lain pertanian, perburuan, dan pengumpulan hasil-hasil hutan (kayu, rotan, damar). Dengan kata lain, kebijakan dan hukum negara secara mendasar telah merubah akses, penggunaan dan kontrol atas sumberdaya. Politik pelestarian alam yang tidak mempertimbangkan hak-hak komunitas lokal ini telah menimbulkan konflik antara komunitas lokal (baik penduduk asli maupun pendatang) dan negara di banyak kawasan lindung di Indonesia (Lynch dan Harwell 2002; Colfer dan Resosudarmo, 2002).
Kedua, dalam rangka pengelolaan taman nasional, pemberlakuan kebijakan negara semacam itu telah membawa implikasi pengutamaan aspek biologi dan ekologi di atas kepentingan komunitas lokal. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria yang digunakan untuk menentukan zonasi taman nasional seperti dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68/1998. Semua kriteria yang terdapat dalam peraturan tersebut dan kemudian digunakan untuk menentukan zona inti, zona hutan, dan zona pemanfaatan dikembangkan berdasar pengetahuan ilmiah guna pelestarian keragaman hayati dan ekosistemnya. Sementara itu, narasi lingkungan hidup dan kehidupan dari penduduk lokal, yang memiliki hubungan sosial-ekonomi dan budaya yang erat serta tradisi yang panjang dengan lingkungan alamnya, sama sekali tidak diperhitungkan sebagai suatu kriteria penting dalam proses zonasi taman nasional.
Kedua persoalan kritis tersebut, bagaimanapun juga, telah menimbulkan sejumlah penolakan dari komunitas pinggiran hutan, karena akses untuk menggunakan kawasan hutan telah diputus oleh negara. Karena implementasi kebijakan kawasan lindung dinilai tidak adil dalam hal distribusi akses terhadap sumberdaya tanah, penduduk lokal kemudian mengartikulasikan penolakan mereka dengan melanggar peraturan dan undang-undang dengan cara mereklaim dan menanami tanah dalam kawasan hutan. Wujud gerakan penolakan tersebut, yang disini dinamai sebagai reforma agraria dari bawah, dalam ’bentuk aslinya’ terutama didukung oleh kekuatan rakyat (people power) atau kekuasaan sosial. Sebelum kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999, kekuatan rakyat selalu dihakimi pemerintah sebagai anarkisme. Dalam kasus TNLL, seperti ditunjukkan dengan kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro setidaknya dalam periode 1982-1998, setiap penduduk desa yang melanggar batas taman nasional pasti dituduh sebagai aktor kriminal.
Kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999 telah memungkinkan perubahan nyata pada karakter kekuatan (kekuasaan) rakyat. Kekuatan rakyat kini diberdayakan dengan kekuasaan politik melalui sekurangnya dua cara. Pertama, kejatuhan rezim Soeharto sendiri telah mengakhiri dominasi pemerintah yang amat berkuasa secara politik atas ”komunitas tanpa kuasa”. Secara implisit, sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan reklaim tanah di Indonesia, berakhirnya dominasi pemerintah di satu sisi adalah awal pemberdayaan komunitas secara politik di sisi lain. Kasus aneksasi di Dongi-dongi dan kasus kultivasi di Sintuwu terjadi seturut alur logika tersebut. Kedua, pemberlakuan UU Nomor 22/1999 ditafsirkan oleh masyarakat -- dengan dukungan dari LSM -- sebagai suatu kesempatan untuk menghidupkan kembali otonomi masyarakat lokal. Alur logika ini diikuti dalam kasus integrasi di Toro melalui revitalisasi pengetahuan dan pengaturan yang asli lokal. Revitalisasi semacam ini memberikan bagi komunitas Toro kekuatan politik untuk tawar-menawar dengan Balai TNLL guna memenangkan integrasi tanah hutan di dalam TNLL ke dalam pengaturan komunitas lokal seperti halnya juga integrasi komunitas Toro ke dalam manajemen taman nasional.
4. Penutup
Sebagaimana telah saya kemukakan, akses pada sumberdaya tanah adalah suatu gejala kekuasaan. Sejalan dengan itu, seperti yang telah ditunjukkan melalui tiga kasus di muka, reklaim tanah hutan yang di sini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah pada dasarnya adalah pertarungan kekuasaan antara para pelaku yaitu negara (yang direpresentasikan Balai TNLL) dan komunitas lokal (Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro). Saya telah menggolongkan reforma agraria dari bawah ke dalam tiga tipe, yaitu aneksasi, kultivasi, dan integrasi yang digambarkan secara berturut-turut dengan kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Bagaimanapun, jika saya setuju dengan pelestarian ekologi dan biologi dan secara bersamaan juga penjaminan keamanan sosial-ekonomi komunitas pinggiran hutan, maka saya cenderung untuk memilih cara integrasi Toro sebagai suatu ”kisah sukses” reforma agraria dari bawah. Kasus Toro ini memberikan inspirasi untuk pemikiran-ulang atas tesis ”tragedi pemilikan bersama” (tragedy of the commons) dari Hardin. Hutan adat Toro saat ini ”milik bersama” yang dikelola secara kolaboratif oleh pengaturan komunitas dan otoritas taman nasional; pola ini memberikan predikat unik untuk kasus hutan adat Toro yaitu ”akses terbuka-terbatas” (open-restricted access).
Ucapan Terimakasih
Tulisan ini didasarkan pada satu seri kegiatan penelitian di bawah Stability of Tropical Rainforest Margin (STORMA) Project Research, kerjasama antara Georg-August University of Gottingen (Jerman), University of Kassel (Jerman), Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako, Palu. Penelitian didanai oleh DFG Pemerintah Jerman. Terimakasih kepada Dr. Soeryo Adiwibowo dan Prof. Michael Fremerey yang telah mengijinkan saya menggunakan hasil penelitian mereka untuk menyusun tulisan ini. Terimakasih pula kepada Anastasia Endang Nugrahaningsih yang telah membantu saya menerjemahkan tulisan ini ke dalam bahasa Indonesia.
Rujukan
Colfer, C.J.P. & I.A.P. Resosudarmo, 2002, Which Way Forward? People, Forest, and Policy Making in Indonesia, Washington, DC: RFF Press Book.
Faust, H., M. Maertens, R. Weber, N. Nuryartono, T. van Rheenen & R. Birner, 2003, Does Migration Lead to Destabilization of Forest Margin? Evidence from an Interdisciplinary Field Study in Central Sulawesi, STORMA Discussion Paper Series No. 11, Gottingen & Bogor : STORMA.
Forum Petani Merdeka, Yayasan Bantuan Hukum Rakyat, Yayasan Tanah Merdeka, Yayasan Pendidikan Rakyat & WALHI Sulteng, 2001. Kronologi Kasus Dongi-dongi: Sejarah dan Permasalahan yang Dialami oleh Desa Rahmat, Kamarora A, Kamarora B dan Desa Kadidia, Palu.
Lynch, O.J. & E. Harwell, 2002, Whose Natural Resource? Whose Common Good?: Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Maertens, M., M. Zeller & R. Birner, 2002, Explaining Agricultural Landuse in Villages Surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 4, Gottingen & Bogor: STORMA.
Moore, B., 1966, Social Origins of Dictatorship and Democracy, Boston: Beacon.
Pincus, J.R., 1996, Class Power and Agrarian Change, London: Macmillan Press Ltd, New York: St. Martin’s Press, Inc.
Sangaji, A., 2001a, Potret Taman Nasional Lore Lindu: Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan, Position Paper 03/YTM/2001, Palu: YTM.
Sangaji, A., 2001b, Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli, Makalah yang disajikan dalam Policy Dialogue on Knowledge and Rights of the Customary Community around Lore Lindu National Park, Palu: Yayasan Tanah Merdeka and NRM/EPIQ.
Sitorus, M.T.F., 2004a, “Kerangka dan Metode Kajian Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 9, No. 1, April 2004, pp 111-24.
_____________, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
_____________, 2002, Land, Ethnicity and the Competing Power: Agrarian Dynamics in Forest Margin Communities in Central Celebes, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 5, Gottingen & Bogor: STORMA.
Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya: Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sondakh, J.O.M., 2002, Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di sekitar Kawasan TNLL Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sunito, S., S. Mamar, M. Mappatoba & M. Abdulkadir, 1999, Socio-Economic Aspects of Village Communities in and Around the Lore Lindu National Park, Bogor: Institut Pertanian Bogor, University of Gottingen, Universitas Tadulako & University of Kassel.
Wirawan, N., J. Foeh, A. Achmad, M. Sudana, B. Umar & I.B. Rabindra, 1995, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (Buku I), Palu: Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah.
[1] Dalam versi bahasa Inggeris dan judul berbeda, tulisan ini pernah disajikan dalam International Conference on Land and Resource Tenure in Changing Indonesia: Questioning the Answers, 11 Oktober 2004 di Jakarta.
[2] Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
[3] Terutama didasarkan pada S. Adiwibowo, 2004, Dongi-dongi: A Culmination of Multi Dimensional Conflict. A Political-Ecology Perspective (PhD Dissertation Draft).
[4] Didasarkan terutama pada MTF Sitorus, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
[5] Didasarkan terutama pada M. Fremerey, 2002, Local Communities as Learning Organizations: The Case of the Village of Toro, Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series, No. 6, Gottingen & Bogor: STORMA.
Tipe-tipe Reforma Agraria dari Bawah di Dataran Tinggi
Sulawesi Tengah[1]
Oleh: MT Felix Sitorus[2]
Abstract
The present paper describes forms of forest land reclaiming by three village communities around the Lore Lindu National Park. The reclaiming process by the three village communities are typified by the author as ‘agrarian reform by leverage’, in other words an agrarian reform process from below based on local initiative. Despite these common characteristics, each village demonstrates a distinctive type of agrarian reform from below, which the author typified as the ‘annexation’ type, the ‘cultivation’ type and the ‘integration’ type.
1. Pendahuluan
Tulisan ini mengkaji gerakan rakyat berupa reklaim tanah yang meluas di pedesaan Indonesia sejak 1998, menyusul kejatuhan rejim Soeharto. Berbeda dari pemerintah yang melihat gerakan itu sebagai pendudukan illegal, saya menggunakan konsep reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) sebagai alat analisa untuk membingkai dan menerangkan gerakan tersebut. Dengan reforma agraria dari bawah dimaksudkan adalah reforma agraria aras lokal yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh komunitas lokal.
Sebelum masuk pada analisis, saya perlu menjelaskan kerangka analisis terlebih dahulu. Saya terilhami oleh gagasan Moore tentang tiga jalur menuju modernitas yaitu revolusi “dari atas” (oleh kelas penguasa), “dari tengah” (oleh kelas pemodal), dan “dari bawah” (oleh kelas petani) dalam suatu masyarakat (Moore, 1966). Karena artikulasi jalur-jalur itu untuk sebagian merujuk pada revolusi agraria, maka gagasan tersebut memiliki relevansi dengan reforma agraria. Dapat saya katakan, menurut sumber inisiatif, reforma agraria dapat dimotori oleh kelas penguasa (pemerintah), atau kelas pemodal (swasta), atau kelas petani (komunitas lokal). Secara berurutan jalur-jalur itu dapat disebut sebagai reforma agraria “dari atas”, “dari tengah”, dan “dari bawah”.
Gagasan tentang jalur-jalur reforma agaraia itu menunjuk pada tiga pelaku utama yaitu pemerintah, swasta, dan komunitas (petani). Sejalan dengan itu struktur agraria ataupun gerakan reforma agraria dapat digambarkan sebagai hubungan sosio-agraria triangular yang melibatkan ketiga pelaku tersebut di atas. Pusat hubungan adalah akses terhadap sumber-sumber agraria. Artinya, hubungan sosio-agraria hadir dalam konteks akses para pelaku terhadap sumber-sumber agraria (Sitorus, 2004a).
Studi-studi terdahulu tentang hubungan kelas, kekuasaan, dan perubahan agraria di pedesaan Indonesia, misalnya di dataran rendah Jawa (Pincus, 1996) dan di dataran tinggi Sulawesi (Sitorus, 2002), telah menuntun saya pada suatu tesis bahwa di belakang akses terhadap sumber-sumber agraria selalu hadir kekuasaan, dan di belakang kekuasaan hadir akses itu sendiri. Sejalan dengan itu, hubungan antara akumulasi sumber-sumber agraria dan akumulasi kekuasaan adalah suatu dialektika. Semakin besar kekuasaan pelaku, semakin besar pula aksesnya terhadap sumber-sumber agraria, dan sebaliknya juga berlaku. Karena itu terdapat alasan bagi setiap pelaku untuk mengakumulasi kekuasaan. Pemerintah mengakulasi kekuasaan politik, pemodal mengakumulasi kekuasaan ekonomi, dan petani mengakumulasi kekuasaan sosial. Tetapi, karena kekuasaan majemuk pada dasarnya lebih efektif dibanding kekuasaan tunggal, setiap pelaku itu senantiasa berupaya meraih dukungan kekuasaan dari pelaku-pelaku lainnya.
Dengan kerangka analisis di atas, dan sejalan dengan fokus analisis, maka dapat saya katakan bahwa kekuasaan sosial akan lebih efektif menggerakkan reforma agraria apabila didukung khususnya oleh kekuasaan politik. Tiga kasus komunitas tepi hutan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dataran tinggi Sulawesi Tengah, akan dipaparkan dan dianalisis di sini seturut kerangka analisis tersebut. Ketiga kasus itu dinamai di sini menurut nama lokasinya yaitu Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Di lokasi-lokasi tersebut berkembang gerakan reklaim tanah hutan yang di sini dan kini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah. Dongi-dongi adalah pemukiman informal baru di dalam TNLL; Sintuwu adalah desa yang berbatasan dengan TNLL; dan Toro adalah satu desa enklaf di dalam TNLL.
Sebagai bagian dari Stability of Tropical Forest Margin Project Research, penelitian di tiga lokasi kasus dilakukan dengan strategi studi kasus. Tiap studi kasus difokuskan pada gerakan reklaim tanah hutan yang kini menjadi masalah pokok baik bagi Balai TNLL maupun bagi komunitas setempat. Data dikumpulkan melalui pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, dan kajian dokumen secara triangular. Dengan menggunakan kerangka analisis reforma agraria dari bawah, analisa data saya arahkan pada pemaparan tentang detil kasus-kasus dan suatu diskusi tentang reforma agraria dari bawah.
2. Tiga Tipe Reforma Agraria dari Bawah
Taman Nasional Lore Lindu (217,991 ha) terletak di jantung pulau Sulawesi. Kawasan taman ini adalah penyatuan dari dua kawasan suaka alam (Suaka Alam Lore Kalamanta dan Suaka Alam Lore Lindu) dan satu kawasan lindung (Kawasan Hutan Lindung/Wisata Danau Lindu) (Wirawan et al., 1995). Penyatuan tersebut dilakukan tahun 1982 pada kesempatan The Third World National Park Conference di Bali. Tetapi proses perubahan ketiga kawasan lindung tersebut menjadi satu kawasan taman nasional dengan batas-batas yang permanen sesungguhnya sudah berlangsung sekitar 15 tahun (1982 – 1997).
Keseluruhan areal TNLL berada dalam wilayah administratif Kecamatan Kulawi dan Palolo, Kabupaten Donggala dan Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut data statistik tahun 1997, terdapat 78 desa di ketiga kecamatan tersebut. Sejumlah 47 (60 persen) dari total desa itu berbatasan langsung dengan TNLL. Keseluruhan wilayah desa-desa di tepian TNLL itu mencakup sekitar 54 persen (3.416 km2) dari total areal desa dengan jumlah penghuni sekitar 67 persen (43.452 jiwa) dari total penduduk. Kepadatan penduduk sedikit lebih tinggi di desa-desa yang berbatasan dengan TNLL (13 jiwa/km2) dibanding rata-rata keseluruhan (10 jiwa/km2) (Sunito et all., 1999).
Data di atas memberi indikasi tentang kemungkinan penduduk untuk menerabas batas TNLL, mengingat kepadatan penduduk cenderung meningkat, sementara kegiatan pertanian masih tetap menjadi mata pencaharian utama. Beberapa studi terbaru telah memberikan bukti-bukti bahwa pertumbuhan penduduk, antara lain karena masuknya pendatang, telah menjadi suatu faktor yang mendorong perluasan areal pertanian ke dalam kawasan hutan TNLL (Maertens et al., 2002; Faust et al., 2003). Dari sudut pandang ekologi ekspansi tersebut jelas merupakan proses destabilisasi hutan. Tetapi dari sudut pandang sosio-agraria, ia dapat dipandang sebagai proses stabilisasi komunitas tepian hutan, jika ia dipahami sebagai suatu cara untuk mengatasi kesenjangan akses terhadap sumberdaya tanah.
Berdasar moda gerakan reklaim tanah, guna membingkai fakta reklaim penduduk atas hutan pemerintah di TNLL, saya mengembangkan tipologi reforma agraria dari bawah yang saya sebut tipe-tipe aneksasi, kultivasi, dan integrasi. Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok-tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Sebaliknya integrasi adalah tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan. Kultivasi berada di antara kedua tipe yang bertentangan itu. Kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah hutan yang direklaim: di satu sisi ia direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di lain sisi ia masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman oleh Balai TNLL.
Mengingat setiap tipe reforma agraria dari bawah itu merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah, sebagaimana disinggung di atas, maka ia memberi indikasi adanya dukungan kekuasaan di belakang. Ini akan menjadi jelas dalam paparan kasus-kasus berikut: kasus aneksasi Dongi-dongi, kasus kultivasi Sintuwu, dan kasus integrasi Toro.
2.1. Tipe aneksasi: kasus Dongi-dongi[3]
Areal Dongi-dongi berada di dalam TNLL terentang sepanjang kilometer 66-79 di jalan provinsi pada ruas Palolo – Napu. Areal itu mencakup 3.500 ha tanah hutan di dua desa yaitu Sedoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala dan Tongoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kendati sebagian besar areal Dongi-dongi berada di Kecamatan Lore Utara, secara geografis ia lebih dekat ke Kecamatan Palolo. Dongi-dongi adalah areal dataran tinggi, berada 1.100 m di atas permukaan laut di hulu daerah aliran sungai Sopu-Gumbasa. Menurut draft dokumen Taman Nasional Lore Lindu – Rencana Manajemen 25 Tahun, areal Dongi-dongi termasuk dalam ketegori Zona Inti.
Pada 19 Juni 2001 sejumlah warga desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat yang terorganisir dalam Forum Petani Merdeka (FPM) mengumumkan pendudukan Dongi-dongi di depan DPRD Sulawesi Tengah. Keempat desa tersebut berada di Kecamatan Palolo, berbatasan dengan TNLL, dan dihuni oleh komunitas-komunitas pindahan dari desa-desa dataran tinggi sekitarnya tahun 1973, 1978 dan 1979, melalui proyek-proyek pemukiman-ulang (resetlement) yang ditangani oleh Departemen Sosial, Departemen Transmigrasi, dan Departemen Kehutanan. Dua bulan selepas pengumuman tadi, sekitar 63.5 ha areal hutan Dongi-dongi telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman darurat, dengan melibatkan sejumlah 1.030 rumahtangga sebagai pelaku (Setyo and Neville, 2001). Satu tahun kemudian, areal bukaan tersebut telah meluas secara cepat hingga mendekati luas 3.400 ha (Kompas, 7 Augustus 2002).
Pendudukan hutan Dongi-dongi itu disebut sebagai aneksasi karena ia merujuk pada pendirian pemukiman dan upaya pengukuhan hak milik atas tanah sekaligus. Sekurangnya ada tiga faktor yang muncul ke permukaan dalam kasus aneksasi Dongi-dongi tersebut. Pertama, masalah agraria di desa-desa pemukiman-ulang. FPM berencana membuka hutan Dongi-dongi untuk keperluan pertanian lahan kering, perkebunan kopi dan kakao, dan pengumpulan rotan karena ketersediaan lahan di desa-desa pemukiman-ulang tidak mencukupi lagi untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Mereka melakukan tekanan terhadap DPRD agar meminta pemerintah memenuhi kekurangan lahan seluas 2.0 ha per rumahtangga yang dijanjikan kepada mereka, setelah pemerintah sejauh ini baru membagikan seluas 0.8 ha saja.
Kedua, perubahan rejim kehutanan. Pada dasarnya kondisi hutan Dongi-dongi adalah cerminan dari perubahan rejim sumberdaya hutan. Dalam periode 1976-1981, hutan Dongi-dongi tergolong sebagai areal hutan konsesi P.T. Kebun Sari, sebuah perusahaan perkayuan. Di bawah kondisi tersebut komunitas dari sembilan desa sekitar (Sintuwu, Bobo, Sigimpu, Bakubakulu, Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B, and Tongoa) masih memiliki akses terhadap sumberdaya hutan dan tidak dilarang untuk mengumpul rotan, menanam kopi, kakao, jagung, padi gogo, dan ubi kayu (Syahyuti, 2002: 66; Sondakh, 2002: 73).
Di awal 1980-an kegiatan pengusahaan kayu menurun tajam karena volume kayu meranti di hutan Dongi-dongi ternyata lebih kecil dari perkiraan semula (Sondakh, 2002). Sementara itu pada tahun 1981 kawasan hutan Lore Lindu, yang tumpang-tindih dengan areal konsesi P.T. Kebun Sari yang izinnya masih berlaku efektif kendati kegiatan eksploitasi telah berkurang, ditetapkan pemerintah sebagai kawasan suaka alam. Kebijakan kehutanan yang bersifat dualistik sekaligus antagonistik ini berlangsung di Dongi-dongi selama sekitar 11 tahun, sampai kemudian izin konsesi hutan P.T. Kebun Sari berakhir, dan areal hutan itu dikembalikan kepada pemerintah tahun 1993. Enam tahun kemudian areal hutan Dongi-dongi bersama dengan dua kawasan lindung lainnya menjadi satu unit manajemen yaitu TNLL. Dalam pandangan penduduk setempat, perubahan status hutan dari hutan produksi menjadi kawasan suaka alam dan kemudian taman nasional adalah suatu ancaman terhadap sumber penghidupan, tidak lain karena ia merubah rejim hutan dari akses terbuka menjadi akses tertutup.
Sebelum Dongi-dongi diduduki oleh FPM tanggal 19 Juni 2001, tercatat pernah sebanyak empat kali penduduk setempat mencoba memanfaatkan hutan Dongi-dongi untuk areal usahatani dan pemukiman. Pertama, tahun 1981 warga desa Bunga pernah sempat menduduki Village base camp P.T. Kebun Sari; kedua, tahun 1982 warga Kamarora mencoba membangun pemukiman di Dongi-dongi; ketiga, pada bulan Mei 1998 sekitar 450 rumahtangga, kebanyakan pengusaha kecil dari desa-desa Rahmat, Kamarora, Kadidia, Balompea dan Dangaran membuka 50 ha hutan Dongi-dongi; dan keempat, tahun 1999 sekitar 40 orang warga membuka hutan seluas sekitar 50 ha lagi. Tetapi, semua upaya percobaan pendudukan itu berhasil digagalkan oleh polisi hutan dan 80 orang warga sempat ditahan polisi terkait masalah itu (Forum Petani Merdeka, et al. 2001:3; Sangaji 2001a:8).
Uraian di atas mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan negara tentang status hutan dari hutan produksi ke hutan lindung, yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-agraria di desa-desa sekitar, telah menciptakan konflik jangka panjang berkenaan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Konflik yang terjadi kemudian adalah konflik vertikal antara pemerintah dan komunitas lokal.
Ketiga, dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pendudukan Dongi-dongi masih berlanjut saat tulisan ini dibuat. FPM didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan dan Yayasan Bantuan Hukum Rakyat. Keterlibatan dua LSM ini dengan segera menarik berbagai pihak terkait ke arena diskursus dan perjuangan politik. Mereka yang terlibat antara lain adalah penduduk Dongi-Dongi, LSM lokal, pemerintah lokal, Balai TNLL, DPRD Sulawesi Tengah, WALHI Jakarta, serta The Nature Conservacy (TNC) and CARE yang berkiprah di Sulawesi Tengah. Berbagai pihak tersebut pada mulanya mendukung konservasi TNLL, tetapi kemudian pecah menjadi kubu-kubu “pro” dan “kontra” atas pendudukan Dong-dongi.
Dampak lebih jauh dari pendudukan Dongi-dongi adalah peningkatan secara tajam kegiatan pencurian kayu (illegal logging) dan pengumpulan rotan oleh para pemukim. Kegiatan pencurian kayu berlangsung nyaris tanpa kesulitan karena mendapat dukungan dari sejumlah aparat keamanan, tentara, dan aparat pemerintah daerah. Hanya dalam tempo dua tahun, dampak negatif pencurian kayu itu sudah terasakan: korban jiwa (seorang pemukim Dongi-dongi meninggal dunia ditembak seorang polisi hutan) dan gangguan ekologis (banjir besar telah menyapu sebagian Dongi-dongi).
2.2. Tipe kultivasi: kasus Sintuwu[4]
Sintuwu, suatu desa yang relative padat penduduk di Kecamatan Palolo, telah berkembang dalam 30 tahun terakhir melalui proses migrasi multi-etnik. Komunitas desa tersebut terdiri dari lebih empat kelompok etnik (Kaili, Kulawi, Bugis, Toraja, dan lainnya), tetapi Kaili dan Bugis tampil sebagai dua kelompok utama. Orang Kaili adalah perintis desa yang sudah masuk ke wilayah itu sejak 1961. Mereka mengklaim diri sebagai “penduduk asli”, sementara orang Bugis disebut “pendatang”.
Dalam tahun-tahun 1960-an dan 1970-an formasi sosial Sintuwu dicirikan oleh dominasi produksi subsisten, khususnya usahatani padi sawah dan jagung. Tetapi, sekitar pertengahan 1980-an kakao diperkenalkan dan selanjutnya diusahakan secara luas, dalam cara yang kapitalistik, sebagai suatu tanaman “emas” baru. Sebagai konsekuensinya, sekurangnya sejak awal 1990-an, ketika usahatani kakao secara cepat meluas ke seluruh wilayah desa, dominasi cara produksi bergeser dari subsisten ke komersil atau kapitalis kecil (petty capitalist). Gejala ini kemudian disebut sebagai Revolusi Cokelat.”
Data pasti mengenai areal perkebunan kakao tidak tersedia, tetapi data tata guna tanah dapat dirujuk untuk menerangkan situasi. Setidaknya dalam tahun 1990-an, Sintuwu mengalami suatu perubahan drastis dalam tata guna tanah. Pada tahun 1998, data resmi Kecamatan Palolo mengindikasikan bahwa usahatani lahan kering (647 ha, 34%) bersama dengan areal perkebunan (491 ha, 25%), telah mendominasi ekologi desa, sementara areal sawah hanya tinggal sedikit (75 ha, 4%). Karena usahatani lahan kering juga mencakup pertanaman kakao (dalam pola tumpang-sari), dan areal perkebunan didominasi oleh tanaman kakao, maka dapat dikatakan hampir 60 persen dari wilayah desa ditutupi oleh kebun kakao. Tambahan lagi pekarangan juga ditanami kakao sehingga areal kebun kakao di Sintuwu pastilah lebih luas dari yang ditunjukkan data resmi.
Tata guna tanah yang kini berlangsung di Sintuwu adalah hasil pergeseran cara produksi dominan dari subsisten menjadi komersil atau kapitalis kecil. Dalam periode 1992-1998 hampir 72 persen dari lahan sawah di Sintuwu dikonversi menjadi kebun kakao, sehingga luas areal persawahan menurun drastis dari 270 ha tahun 1992 menjadi hanya 75 ha tahun 1998. Alasan utama konversi lahan sawah tersebut adalah harga tinggi kakao, sekurangnya sampai paruh pertama 1990-an.
Tidak diragukan lagi, pada tahun 1990-an usahatani kakao adalah komoditas penghasil keuntungan di Sintuwu. Dalam dekade itulah perluasan kebun kakao di Sintuwu berlangsung secara drastis dalam dua cara. Cara pertama adalah konversi areal pertanian subsisten, yaitu lahan sawah, ladang jagung, dan pekarangan menjadi kebun kakao. Konversi tanah menjadi kebun kakao terutama dilakukan oleh orang Bugis, yang membeli lahan sawah dan lahan kering dari umumnya orang Kaili.
Cara kedua untuk perluasan, yang dicap ilegal oleh Balai TNLL, adalah merambah hutan dan menanaminya dengan kakao. Ini terutama dilakukan oleh orang Kaili dengan cara mereklaim hutan yang kini tercatat sebagai kawasan LLNP. Tidak ada data pasti tentang skala perambahan, tetapi informan memperkirakan bahwa pada pertengahan 2001 warga Sintuwu telah mengusahakan sekitar 100 ha di dalam kawasan TNLL. Inilah yang saya sebut sebagai reforma agraria dari bawah dengan tipe kultivasi.
Penjelasan untuk reklaim dan pengusahaan tanah hutan dapat ditarik dari gejala “Revolusi Cokelat”. Revolusi ini telah membawa sedikitnya dua perubahan nyata di Sintuwu, yaitu privatisasi tanah dan akumulasi surplus berikut pembentukan modal. Semenjak usaha kakao mendominasi kegiatan ekonomi, dan bersamaan dengan itu mayoritas sumberdaya tanah di dalam desa telah beralih ke tangan orang Bugis melalui pembelian, gejala pemilikan pribadi atas tanah jelas terbaca melalui proses sertifikasi tanah. Peralihan hak milik tanah dari Kaili ke Bugis, mengindikasikan gejala kedua, yaitu akumulasi surplus khususnya di kalangan orang Bugis. Lazimnya, begitu orang-orang Bugis berhasil mengakumulasi surplus dari kebun kakao, selanjutnya mereka akan menggunakan surplus itu untuk mengakumulasi modal dengan cara membeli lagi tanah dari “penduduk asli”. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa “Revolusi Cokelat” telah mengangkat orang Bugis menjadi golongan “tuan tanah baru”, tetapi sebaliknya menjatuhkan orang Kaili menjadi golongan “tunakisma baru”.
Jelas bahwa di bawah ekonomi kakao orang Kaili mengalami penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi, sementara orang Bugis sebaliknya mengalami peningkatan. Kebun kakao telah menjadi indikator kesejahteraan sosial-ekonomi di kalangan warga Sintuwu. Orang Kaili, sudah barang tentu, sangat ingin juga mengusahakan kakao secara luas, seperti halnya orang Bugis. Tetapi mereka dihadapkan pada masalah kelangkaan tanah di dalam desa, karena mayoritas lahan telah dikuasai oleh orang Bugis. Situasi ini menimbulkan semacam kecemburuan di pihak orang kaili dan, pada taraf tertentu, menimbulkan juga ketegangan sosial di antara kedua kelompok etnik utama itu.
Untuk mengatasi masalah penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi tersebut, orang kaili kemudian mencari basis baru di luar desa dan menemukan kawasan hutan sebagai alternative terbaik. Orang Kaili kemudian merambah kawasan hutan TNLL dan mengusahakan kakao secara luas di sana. Perambahan tersebut tentu saja mengantarkan orang Kaili ke arena sengketa tanah dengan Balai TNLL. Di satu pihak Balai TNLL menyatakan bahwa orang Kaili telah menerobos batas taman nasional dan menuduh mereka sebagai perambah tanah hutan. Di lain pihak orang Kaili tidak menerima batas taman nasional hasil penetapan tahun 1982. Menurut mereka batas taman nasional telah masuk menjajah sejauh sekitar dua kilometer ke dalam desa, diukur dari “batas tradisional” di dalam hutan. Pada kenyataannya orang Kaili telah membuka dan menanami tanah hutan jauh hari sebelum batas resmi taman nasional ditetapkan secara sepihak tahun 1982. Bercocok-tanam di dalam kawasan hutan adalah cara orang Kaili mengakumulasi basis ketahanan sosial-ekonomi, semenjak mereka termarginalisasi oleh “Revolusi Cokelat”.
Bagaimanapun juga, bercocok-tanam di dalam kawasan hutan TNLL adalah kegiatan illegal. Tetapi di aras lokal kegiatan itu didukung oleh kepala desa dengan mengeluarkan Surat Keterangan Pengolahan Lahan bagi setiap rumahtangga Kaili yang membuka hutan untuk usaha kebun kakao. Dapat dikatakan bahwa di balik pengusahaan tanah hutan oleh orang Kaili terdapat kekuasaan politik kepala desa. Pada kenyataannya kepala desa adalah pemimpin reklaim tanah hutan, karena ia sendiri telah memberi contoh dengan mengusahakan setidaknya sebidang tanah di dalam kawasan TNLL. Ia juga memimpin rakyatnya dalam suatu kesempatan unjuk rasa tahun 1998 di Balai TNLL, dalam rangka memperjuangkan hak berusahatani di dalam kawasan hutan. Hasil unjuk rasa itu adalah suatu kesepakatan: penduduk desa memiliki hak atas tanaman (khususnya kakao dan kopi) sementara negara (Balai TNLL) tetap memiliki hak atas tanah hutan.
2.3. Tipe integrasi: kasus Toro[5]
Toro terletak di atas lembah Kulawi di sebelah barat kawasan TNLL. Dikitari oleh hutan taman nasional di sebelah timur, selatan, dan utara, ia dapat disebut sebagai desa enklaf di dalam TNLL. Desa ini dihuni oleh sekitar 540 rumahtangga, sebagian terbesar di antaranya termasuk dalam kelompok etnik Toro.
Total luas wilayah Toro adalah 22.950 ha tetapi hanya sekitar 1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya adalah tanah hutan dan bagian dari TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen itu adalah sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha ditanami palawija atau kakao dan kopi. Dengan sedikit perkecualian, seluruh rumahtangga di Toro hidup dari pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan antara lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar.
Struktur pemilikan tanah di Toro tidak mengindikasikan distribusi yang ekstrim. Hanya ada sejumlah kecil rumahtangga yang menguasai lebih dari 5.0 ha tanah, termasuk di dalamnya penguasaan sawah seluas lebih dari 2.0 ha. Sekitar 80 unit rumahtangga menguasai tanah kurang dari 0.5 ha; bagi mereka akses ke sumberdaya hutan sangat penting untuk menjamin nafkah. Hal serupa juga benar untuk lebih dari 200 unit rumahtangga yang memiliki tanah kurang dari 1.0 ha, terlebih jika pemilikan tanah itu tidak mencakup sawah.
Akses penduduk desa terhadap sumberdaya hutan secara resmi ditutup tahun 1982, ketika otoritas pemerintah menarik garis batas antara wilayah desa dan kawasan hutan TNLL. Penetapan garis batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan aturan adat setempat dan juga tidak memperhatikan pola pemanfaatan tanah yang berlaku setempat. Satu hal yang pasti, pelanggaran terhadap batas TNLL akan diganjar dengan sanksi berat.
Situasi ini berubah drastis pada pertengahan Juli 2000, ketika hak adat masyarakat Toro atas tanah desa diakui oleh Balai TNLL. Balai TNLL mengeluarkan pernyataan pengakuan atas 18.360 ha tanah desa yang berada di dalam taman nasional, sebagai tanah adat yang dikelola di bawah tanggung jawab masyarakat Toro. Hal ini yang saya sebut sebagai integrasi manajemen tanah hutan ke dalam lingkungan otonomi masyarakat, yang dapat dipahami sebagai sebuah reforma agraria dari bawah. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, wilayah hutan adat tersebut masih tetap menjadi bagian dari TNLL, sehingga dapat disimpulkan bahwa desa Toro sampai taraf tertentu juga terintegrasi dengan manajemen TNLL.
Proses lokal pencapaian keberhasilan tersebut, yang dapat disebut sebagai proses ”pembelajaran organisasi” (learning organization), telah melewati perjuangan panjang sejak 1997. Perjuangan dimulai sejak LSM lokal, yakni Yayasan Tanah Merdeka (YTM), memasuki Toro dengan misi meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak politik mereka. Inisiatif ini memicu tokoh-tokoh pimpinan desa untuk menggali dan merevitalisasi norma adat yang pernah menjadi perangkat utama untuk mengatur hubungan manusia-manusia dan hubungan manusia-alam di masa lalu, dan juga aturan-aturan adat yang masih berlaku saat ini.
Setelah melalui proses wawancara panjang dengan tetua desa dan pendokumentasian yang rinci, mereka berhasil menggali kembali kearifan tradisional Toro berkenaan dengan ekologi hutan. Menurut kearifan tradisional tersebut kawasan hutan terbagi ke dalam beragam tipe pemanfaatan menurut status perlindungannya, yaitu: (a) Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang secara ekologi paling rapuh sehingga dilarang untuk ditanami, (b) Wana yaitu kawasan hutan primer tempat hasil-hasil hutan dapat diambil secara selektif, (c) Pangale yaitu kawasan hutan sekunder yang pernah ditanami dan diperbolehkan untuk ditanami kembali, (d) Oma yaitu kawasan hutan yang dialokasikan untuk pertanian lahan kering. Selanjutnya, atas dasar pengetahuan ini, masyarakat Toro dengan dibantu oleh oleh YTM membuat peta tanah adat Toro yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mereklaim tanah desa (Sohibuddin, 2003).
Tentu saja, di samping kehadiran LSM lokal, ada juga faktor-faktor eksternal lain yang berperan penting dalam proses di atas. Salah satunya adalah pemberlakuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang mengakhiri periode panjang pemerintahan dan kontrol politik yang sentralistik dengan memberikan otonomi secara substansi kepada daerah. Di tingkat desa undang-undang ini memberikan ruang kepada masyarakat desa untuk lebih berpartisipasi dalam mengatur urusan pemerintahan dan politik mereka. Undang-undang ini juga memungkinkan tumbuhnya institusi desa yang baru, dan pemulihan kembali institusi desa yang lama (seperti lembaga-lembaga adat), serta menempatkan pemimpin desa di bawah kontrol demokrasi. Di Toro undang-undang ini memberikan sumbangan besar dalam penciptaan semangat ”kebangkitan”. Faktor kondusif lainnya adalah pendekatan manajemen TNLL yang ”berorientasi manusia”, yang mencoba mendamaikan kepentingan perlindungan hutan dan kebutuhan komunitas sekitarnya.
Dampak keberhasilan ini adalah suatu perubahan struktural. Tadinya, begitu hutan dinyatakan sebagai milik negara, lembaga adat di Toro dan juga di desa-desa lain di sekitar TNLL, tidak dimungkinkan lagi mengambil inisiatif untuk resolusi konflik terkait pemanfaatan sumberdaya hutan secara ilegal. Keterlibatan semacam itu dianggap sebagai ancaman terhadap intervensi negara. Tetapi, karena kekurangan tenaga, dalam prakteknya Balai TNLL tidak mampu mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga perambahan hutan tetap saja merajalela. Sekarang, resolusi konflik resolusi atas masalah-masalah hutan di Toro secara eksklusif ditangani oleh lembaga adat.
Meskipun praktek pengaturan internal merupakan hal yang biasa di desa-desa sekitar wilayah TNLL, kasus Toro memperlihatkan beberapa kekhususan. Di sana, sesuai dengan komposisinya, lembaga adat merepresentasikan kekuatan-kekuatan sosial tradisional, keagamaan, dan modern/sekuler. Yuridiksinya juga sangat kukuh dan tak terbantahkan. Hal yang lebih penting lagi adalah keberadaan sistem hukuman berjenjang yang telah berkembang di masa lalu dan masih hidup dalam pengetahuan ekologi komunitas lokal.
3. Diskusi
Seperti telah dijelaskan dimuka, di balik akses pada sumberdaya tanah terdapat basis kekuasaan. Artinya, di belakang setiap pelaku reforma agraria pada kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu dan Toro, terdapat dukungan kekuasaan. Dalam ketiga kasus tersebut, para pelaku utama adalah Balai TNLL dan komunitas lokal. Suatu pertanyaan kemudian dapat diajukan: apa saja tipe-tipe dan sumber-sumber kekuasaan yang mereka miliki.
Balai TNLL memiliki akses atas wilayah hutan lindung berdasarkan kekuasaan politik yang dikukuhkan oleh seperangkat peraturan dan perundangan negara. Kawasan lindung di Indonesia seperti TNLL diatur dan dikelola oleh negara berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan (menggantikan UU Nomor 5/1967 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Kehutanan), UU Nomor 5/1990 tentang Pelestarian Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU Nomor 24/1992 tentang Tata Ruang, UU Nomor 5/1974 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keragaman Hayati, dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan (menggantikan UU Nomor 4/1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan). Sebagai tambahan, UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria terkait erat dengan pengelolaan kawasan-kawasan yang dilindungi. Semua undang-undang tersebut merupakan sumber kekuasaan dalam arti otoritas bagi negara, yang direpresentasikan oleh Balai TNLL, untuk mengontrol dan mengelola kawasan hutan lindung Lore-Lindu secara eksklusif.
Bagaimanapun juga, hukum dan kebijakan negara atas wilayah yang dilindungi tersebut, khususnya yang berhubungan dengan taman nasional, mengandung sejumlah masalah kritis. Pertama, tafsir yang berlaku umum atas UU Kehutanan (UU No.41/1999) dan UU Pelestarian (UU No. 5/1990) masih merujuk pada Domain Verklaaring warisan pemerintah kolonial. Dengan tafsir seperti itu, kedua undang-undang itu memberikan kepada negara suatu hak legal yang bersifat eksklusif untuk mengontrol sumberdaya hutan, termasuk hak-hak untuk mengesahkan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumberdaya. Kebijakan dan hukum negara semacam itu membawa implikasi bahwa jika suatu wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan lindung, baik sebagai kawasan suaka alam maupun sebagai kawasan pelestarian alam, maka wilayah tersebut menjadi tertutup untuk kegiatan pemanfaatan secara tradisional, antara lain pertanian, perburuan, dan pengumpulan hasil-hasil hutan (kayu, rotan, damar). Dengan kata lain, kebijakan dan hukum negara secara mendasar telah merubah akses, penggunaan dan kontrol atas sumberdaya. Politik pelestarian alam yang tidak mempertimbangkan hak-hak komunitas lokal ini telah menimbulkan konflik antara komunitas lokal (baik penduduk asli maupun pendatang) dan negara di banyak kawasan lindung di Indonesia (Lynch dan Harwell 2002; Colfer dan Resosudarmo, 2002).
Kedua, dalam rangka pengelolaan taman nasional, pemberlakuan kebijakan negara semacam itu telah membawa implikasi pengutamaan aspek biologi dan ekologi di atas kepentingan komunitas lokal. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria yang digunakan untuk menentukan zonasi taman nasional seperti dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68/1998. Semua kriteria yang terdapat dalam peraturan tersebut dan kemudian digunakan untuk menentukan zona inti, zona hutan, dan zona pemanfaatan dikembangkan berdasar pengetahuan ilmiah guna pelestarian keragaman hayati dan ekosistemnya. Sementara itu, narasi lingkungan hidup dan kehidupan dari penduduk lokal, yang memiliki hubungan sosial-ekonomi dan budaya yang erat serta tradisi yang panjang dengan lingkungan alamnya, sama sekali tidak diperhitungkan sebagai suatu kriteria penting dalam proses zonasi taman nasional.
Kedua persoalan kritis tersebut, bagaimanapun juga, telah menimbulkan sejumlah penolakan dari komunitas pinggiran hutan, karena akses untuk menggunakan kawasan hutan telah diputus oleh negara. Karena implementasi kebijakan kawasan lindung dinilai tidak adil dalam hal distribusi akses terhadap sumberdaya tanah, penduduk lokal kemudian mengartikulasikan penolakan mereka dengan melanggar peraturan dan undang-undang dengan cara mereklaim dan menanami tanah dalam kawasan hutan. Wujud gerakan penolakan tersebut, yang disini dinamai sebagai reforma agraria dari bawah, dalam ’bentuk aslinya’ terutama didukung oleh kekuatan rakyat (people power) atau kekuasaan sosial. Sebelum kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999, kekuatan rakyat selalu dihakimi pemerintah sebagai anarkisme. Dalam kasus TNLL, seperti ditunjukkan dengan kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro setidaknya dalam periode 1982-1998, setiap penduduk desa yang melanggar batas taman nasional pasti dituduh sebagai aktor kriminal.
Kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999 telah memungkinkan perubahan nyata pada karakter kekuatan (kekuasaan) rakyat. Kekuatan rakyat kini diberdayakan dengan kekuasaan politik melalui sekurangnya dua cara. Pertama, kejatuhan rezim Soeharto sendiri telah mengakhiri dominasi pemerintah yang amat berkuasa secara politik atas ”komunitas tanpa kuasa”. Secara implisit, sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan reklaim tanah di Indonesia, berakhirnya dominasi pemerintah di satu sisi adalah awal pemberdayaan komunitas secara politik di sisi lain. Kasus aneksasi di Dongi-dongi dan kasus kultivasi di Sintuwu terjadi seturut alur logika tersebut. Kedua, pemberlakuan UU Nomor 22/1999 ditafsirkan oleh masyarakat -- dengan dukungan dari LSM -- sebagai suatu kesempatan untuk menghidupkan kembali otonomi masyarakat lokal. Alur logika ini diikuti dalam kasus integrasi di Toro melalui revitalisasi pengetahuan dan pengaturan yang asli lokal. Revitalisasi semacam ini memberikan bagi komunitas Toro kekuatan politik untuk tawar-menawar dengan Balai TNLL guna memenangkan integrasi tanah hutan di dalam TNLL ke dalam pengaturan komunitas lokal seperti halnya juga integrasi komunitas Toro ke dalam manajemen taman nasional.
4. Penutup
Sebagaimana telah saya kemukakan, akses pada sumberdaya tanah adalah suatu gejala kekuasaan. Sejalan dengan itu, seperti yang telah ditunjukkan melalui tiga kasus di muka, reklaim tanah hutan yang di sini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah pada dasarnya adalah pertarungan kekuasaan antara para pelaku yaitu negara (yang direpresentasikan Balai TNLL) dan komunitas lokal (Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro). Saya telah menggolongkan reforma agraria dari bawah ke dalam tiga tipe, yaitu aneksasi, kultivasi, dan integrasi yang digambarkan secara berturut-turut dengan kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Bagaimanapun, jika saya setuju dengan pelestarian ekologi dan biologi dan secara bersamaan juga penjaminan keamanan sosial-ekonomi komunitas pinggiran hutan, maka saya cenderung untuk memilih cara integrasi Toro sebagai suatu ”kisah sukses” reforma agraria dari bawah. Kasus Toro ini memberikan inspirasi untuk pemikiran-ulang atas tesis ”tragedi pemilikan bersama” (tragedy of the commons) dari Hardin. Hutan adat Toro saat ini ”milik bersama” yang dikelola secara kolaboratif oleh pengaturan komunitas dan otoritas taman nasional; pola ini memberikan predikat unik untuk kasus hutan adat Toro yaitu ”akses terbuka-terbatas” (open-restricted access).
Ucapan Terimakasih
Tulisan ini didasarkan pada satu seri kegiatan penelitian di bawah Stability of Tropical Rainforest Margin (STORMA) Project Research, kerjasama antara Georg-August University of Gottingen (Jerman), University of Kassel (Jerman), Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako, Palu. Penelitian didanai oleh DFG Pemerintah Jerman. Terimakasih kepada Dr. Soeryo Adiwibowo dan Prof. Michael Fremerey yang telah mengijinkan saya menggunakan hasil penelitian mereka untuk menyusun tulisan ini. Terimakasih pula kepada Anastasia Endang Nugrahaningsih yang telah membantu saya menerjemahkan tulisan ini ke dalam bahasa Indonesia.
Rujukan
Colfer, C.J.P. & I.A.P. Resosudarmo, 2002, Which Way Forward? People, Forest, and Policy Making in Indonesia, Washington, DC: RFF Press Book.
Faust, H., M. Maertens, R. Weber, N. Nuryartono, T. van Rheenen & R. Birner, 2003, Does Migration Lead to Destabilization of Forest Margin? Evidence from an Interdisciplinary Field Study in Central Sulawesi, STORMA Discussion Paper Series No. 11, Gottingen & Bogor : STORMA.
Forum Petani Merdeka, Yayasan Bantuan Hukum Rakyat, Yayasan Tanah Merdeka, Yayasan Pendidikan Rakyat & WALHI Sulteng, 2001. Kronologi Kasus Dongi-dongi: Sejarah dan Permasalahan yang Dialami oleh Desa Rahmat, Kamarora A, Kamarora B dan Desa Kadidia, Palu.
Lynch, O.J. & E. Harwell, 2002, Whose Natural Resource? Whose Common Good?: Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Maertens, M., M. Zeller & R. Birner, 2002, Explaining Agricultural Landuse in Villages Surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 4, Gottingen & Bogor: STORMA.
Moore, B., 1966, Social Origins of Dictatorship and Democracy, Boston: Beacon.
Pincus, J.R., 1996, Class Power and Agrarian Change, London: Macmillan Press Ltd, New York: St. Martin’s Press, Inc.
Sangaji, A., 2001a, Potret Taman Nasional Lore Lindu: Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan, Position Paper 03/YTM/2001, Palu: YTM.
Sangaji, A., 2001b, Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli, Makalah yang disajikan dalam Policy Dialogue on Knowledge and Rights of the Customary Community around Lore Lindu National Park, Palu: Yayasan Tanah Merdeka and NRM/EPIQ.
Sitorus, M.T.F., 2004a, “Kerangka dan Metode Kajian Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 9, No. 1, April 2004, pp 111-24.
_____________, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
_____________, 2002, Land, Ethnicity and the Competing Power: Agrarian Dynamics in Forest Margin Communities in Central Celebes, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 5, Gottingen & Bogor: STORMA.
Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya: Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sondakh, J.O.M., 2002, Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di sekitar Kawasan TNLL Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sunito, S., S. Mamar, M. Mappatoba & M. Abdulkadir, 1999, Socio-Economic Aspects of Village Communities in and Around the Lore Lindu National Park, Bogor: Institut Pertanian Bogor, University of Gottingen, Universitas Tadulako & University of Kassel.
Wirawan, N., J. Foeh, A. Achmad, M. Sudana, B. Umar & I.B. Rabindra, 1995, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (Buku I), Palu: Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah.
[1] Dalam versi bahasa Inggeris dan judul berbeda, tulisan ini pernah disajikan dalam International Conference on Land and Resource Tenure in Changing Indonesia: Questioning the Answers, 11 Oktober 2004 di Jakarta.
[2] Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
[3] Terutama didasarkan pada S. Adiwibowo, 2004, Dongi-dongi: A Culmination of Multi Dimensional Conflict. A Political-Ecology Perspective (PhD Dissertation Draft).
[4] Didasarkan terutama pada MTF Sitorus, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
[5] Didasarkan terutama pada M. Fremerey, 2002, Local Communities as Learning Organizations: The Case of the Village of Toro, Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series, No. 6, Gottingen & Bogor: STORMA.
Belajar dari Desa
Belajar dari Desa
GAGASAN mengenai arti penting kedudukan dan peranan kelembagaan desa dalam skema pembangunan nasional dan penanganan bencana, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Sejak penguasaan masa kolonial, menyadari eksistensi kelembagaan yang ada di desa sebagai basis perlawanan rakyat revolusioner dengan tingkat solidaritas dan gotong royong relative tinggi merupakan modal sosial yang berpotensi untuk menentang dominasi kolonialisme kapitalis Belanda. Kekuatan nilai-nilai local wisdom tersebut satu sisi bukan hanya menakutkan bagi kolonialisme, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh kolonial untuk merumuskan konsep pemerintahan saat itu, hal itu terlihat pada pengakuan desa dan kelembagaan yang ada di dalamnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda melalui ordonansi khusus yang dikenal dengan nama De Indlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) yang dimaklumatkan melalui Ind. Stb. 1906 No. 83, yang dimaksudkan untuk mengatur urusan pengelolaan berikut kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas dan kelembagaan yang ada di pedesaan pribumi. Artinya bahwa Kolonialisme Belanda menganggap bahwa desa dengan kearifan yang dimilikinya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan sekaligus sebagai basis ekspolitasi, karena desa menyediakan berbagai hasil bumi serta tenaga kerja yang murah. Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada masa kekeuasaan rezim orde baru, dimana desa satu sisi diangap sebagai basis kekuatan ekonomi, khususnya dibidang pertanian, namun pada sisi yang lain kebijakan-kebijakan yang gulirkan cenderung mengeksploitasi desa serta masyarakat yang ada di dalamnya, sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat desa yang sebenarnya memiliki kemampuan survive harus takluk dalam skema sentralisasi dan eksploitasi.
Memasuki era reformasi, desa; sedikit banyak mengalami perubahan, khususnya pada level regulasi, dimana melalaui UU No.22tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004. Dalam beberapa klausulnya merekomendasikannya pengakuan hak-hak desa, seperti adanya kekebasan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya (kepada desa), membentuk berbagai kelompok sosial masyarakat serta adanya dana alokasi untuk desa yang diambil dari APBN.
Uraian tersebut diatas, setidaknya ada hal penting sebenarnya yang dapat kita formulasi dalam proses recovery pasca bencana maupun penanggulangan resiko bencana, khususnya yang terjadi dikawasan pedesaan, yaitu dengan optimalisasi potensi dan sumberdaya (local wisdom) yang ada di desa sebagai landasan untuk penanggulangan dan recovery bencana, anggapan ini tentu saja sesuai dengan pengalaman penulis ketika terlibat dalam proses recovery di Bantul, dimana sekitar 5 jam setelah gempa terjadi, saya dan kawan-kawan (dkk) LSM yang saya naungi melakukan evakuasi dan memberikan pertolongan kepada warga korban (kegiatan tersebut bersifat emergency respon; praktis tanpa perencanaan yang matang). Pada waktu yang bersamaan saya dkk menginisiasi pembentukan tim yang bertugas membantu korban. Tim ini beranggotakan; perwakilan dari seluruh tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kelompok dan kelembagaan sosial yang ada di desa, serta asosiasi-asosiasi dan perkumpulan warga yang ada di Bantul, atas kesepakatan bersama, maka tim ini diberi nama Tim Sukarelawan Pemulihan (TSP) Bantul. Ada tiga tugas utama tim ini yaitu; merekrut relawan, membuka akses jaringan bantuan, serta mediasi dan advokasi.
Pertama, rekruitmen relawan; adalah upaya yang dilakukan dalam rangka mencari dan mengalokasikan tenaga-tenaga sukarelawan untuk melakukan kerja-kerja evekuasi dan pertololongan baik medis maupun non medis. Sasaran rekrutmen relawan ini antaralain; mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (Jogjakarta, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat) serta masyarakat umum dari desa-desa yang ada disekitar DIY. Prinsip dasar rekrutmen relawan tersebut adalah solidaritas kemanusiaan. Proses rekrutmen relawan ini dengan menggunakan metode undangan terbuka dan kerjasama sosial kemanusiaan. a). Rekrutmen relawan dari perguruan tinggi; Proses rekrutmen relawan dari PT, TSP membuat surat permohonan kepada PT yang bersangkutan untuk mengirimkan mahasiswanya sebagai relawan dengan inisiatif bahwa mahasiswa yang tergabung dalam TSP dapat dan akan dikategorikan sebagai peserta Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud pengabdian masyarakat. Selain menggunakan permohonan resmi, ada juga beberapa perguruan tinggi dari luar DIY, yang mendaftarkan diri untuk bergabung di TSP baik person maupun kelompok.
b). Rekrutmen relawan dari Masyarakat Umum; Konsep dasar yang digunakan dalam merekrutmen relawan dari masyarakat umum, adalah solidaritas dan kerjasama antar kelembagaan sosial yang ada di desa-desa sekitar DIY. Penggunaan konsep ini dilatar belakangi oleh konsep hubungan sosial dan kekerabatan masyarakat Jawa (khususnya warga masyarakat Bantul dengan daerah sekitarnya) yang guyub rukun serta gotong royong. Oleh sebab itu Bantul sebagai salah satu barometer kekuatan kelembagaan desa, sehingga TSP tidak mengalami kesulitan mendapatkan relawan, dimana kekuatan yang dibangun adalah solidaritas dan kerjasama antar karang taruna, antar pedukuhan, antar RT, antar kelompok tani, pedagang, BPD dan antar pemerintah desa. Proses rekrutmen ini tentu saja yang kami libatkan adalah jaringan-jaringan kelembagaan sosial yang ada di desa, kami memberikan kebebasan dan otonom kepada mereka untuk merektrut relawan dari desa-desa tetangganya.
Hal yang penting sebelum melakukan rekrutmen relawan adalah perlu secara abstrak mengidentifikasi kebutuhan warga korban agar disesuaikan dengan kemampuan relawan dan penempatan relawan tersebut di posko-posko TSP.
Relawan yang sudah terdaftar di posko utama TSP, akan diberikan pengarahan, penjelasan, serta pembagian tugas dan wilayah pendirian posko (technical meeting) oleh tim Rekrument TSP. Semua peserta relawan teregistrasi di posko induk untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi. Dalam pembagian kelompok yang dialokasi di posko-pokso telah ditentukan, relawan dari suatu perguruan tinggi akan digabungkan dengan PT lain dan warga masyarakat umum, dengan tujuan untuk memudah interaksi sosial dan transformasi skill dan pengalaman.
Kedua, membuka akses jaringan bantuan. Kerja dari pencari bantuan ini adalah menggalang dukungan bantuan yang bersifat materi, seperti sembako, obat-obatan dan tenaga medis, pakaian, tenda, dan perabot rumah tangga, perlengkapan kerja. Dalam kerja-kerja membuka akses jaringan bantuan ini adalah tetap memberdayakan kelembagaan sosial yang ada di desa, dimana jaringan-jaringan kerjasama yang telah ada sebelum gempa tetap menjadi perhatian utama dari tim ini, alhasil selama melakukan tugasnya, tim pencari bantuan ini berhasil menghimpun dukungan bantuan materi dari berbagai desa yang ada di kabupaten-kabupaten disekitar DIY dan bahkan mendapatkan dari luar pulau jawa.
Ketiga, tim mediasi dan advokasi; tugas dari tim ini adalah memediasi masyarakat korban, baik dalam bentuk jaringan bantuan maupun berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga korban. Selain itu juga tim ini bekerja melakukan advokasi terhadap warga korban terkait memperjuangkan hak-haknya sebagai korban. Untuk diketahui bahwa penggunaan media massa merupakan hal penting untuk mentransformasikan informasi kondisi dilokasi bencana, dan saat saya yang beri tugas merekrut, mealokasikan, dan mengkoordinasikan melakukan kerja sama dengan beberapa radio dan media cetak yang ada di Jogjakarta untuk mengkomunikasikan hal tersebut.
Membantu yang Memberdayakan
Selama terlibat dalam TSP tersebut banyak hal dapat penulis temukan dilapangan, berbagai kejadian-kejadian yang dinggap diluar dugaan, kejadian-kejadian tersebut antaralain, adanya korban yang belum ditangani dengan baik oleh medis, baik kondisi fisiknya maupun masalah biaya, ada juga yang menumpuk bantuan (walaupun presentasenya kecil), cash for work, terjadinya perebutan wilayah kekuasaan “garapan” korban gempa, serta kasus-kasus lainnya yang menurut saya semua orang yang terlibat dalam proses recovery Jogjakarta, dan Bantul khususnya dapat menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut
Atas dasar pengalaman tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan menguraikan bagaimana sebenarnya skema memberikan bantuan yang memberdayakan. Gempa yang terjadi di Jogjakata dan daerah sekitar, tentunya diluar kempuan kita dengan teknologi yang masih minim untuk dapat memprediksikan bahwa itu akan terjadi, demikian juga dengan bencana alam-lainnya. Maka ketika kita berbicara penanganan pasca terjadinya bencana tersebut, maka siapapun yang akan terlibat dalam proses tersebut, syarat utama yang harus penuhi adalah mengatahui bagaimana kondisi masyarakat sebelum bencana dan setelah bencana. Syarat ini lebih diutamakan pada proses penanganan jangka panjang. Artinya identifikasi bukanya hanya dilakukan ada kebutuhan-kebutuhan warga korban, akan tetapi indentifikasi kondisi sosial masyarakat bertujuaan agar proses recovery tersebut tepat sasaran dan memberdayakan masyarakat.
Strategi bagi penguatan peranan kelembagaan desa (memberdayakan) dalam menanggulangi dan penanganan pasca bencana dapat dilakukan melalui analisis isu utama dan isu fungsional dalam skema penanggulangan bencana. Sebagai isu utama, perlu dilakukan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai konstitusional bagi penanganan bencana. Hal ini berarti diperlukan langkah langkah-langkah strategis secara berkelanjutan untuk mendesakkan agenda penyusunan konstitusi, dengan menskenariokan penguatan kewenangan pemerintah lokal dan kelembagaan lokal ke dalam konstitusi. Strategi ini bertujuan untuk memudahakan koordinasi dan penguatan kerjasama antar pemerintah daerah serta adanya desentralisasi kewenangan dalam membuat kebijakan tentang penanganan bencana, dimana pemerintah pusat hanya bersifat fasilitator dengan memakasimalkan tugas pembantuannya kepada daerah. Manakala pengakuan secara konstitusional masalah penanggulangan resiko bencana ini sudah berhasil diperoleh, langkah-langkah strategis yang menjadi bagian dari isu sekunder, fungsional dan minor akan lebih mudah dilakukan secara gradual. Dimana pemerintah daerah harus dengan giat mendorong partisipasi masyarakat agar terlibat dalam berbagai perumusan kebijakan dan implementasinya, khususnya yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana, sehingga proses tersebut menjadi upaya memberdayakan masyarakat.
Salah satu metode untuk menggerakan arah perubahan dan perbaikan pasca bencana dari bawah adalah melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat, khususnya masyarakat desa. Partisipasi yang hendak dikembangkan didasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan hitam dan putihnya kondisi pemerintah, sosial, ekonomi, politik dan budaya di daerahnya. Warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan arah gerak sosial kultur serta kinerja pemerintah. Hak tersebut terkait langsung dengan eksistensi rakyat dalam skema kenegaraan. Oleh sebab itu, menjadi ironis kemudian ketika proses penanganan bencana yang terjadi saat ini, baik pemerintah maupun NGO cenderung melakukan “intrevensi” terhadap hak-hak warga masyarakat, khususnya warga korban, dengan menegasikan nilai-nilai lokalitas yang terintegrasi dalam kelembagaan lokal. Penanganan bencana ini tentu saja dirumuskan dalam penanganan jangka panjang. Para pemberi bantuan (siapapun) harus merumuskan dan memprediksikan apa yang akan terjadi pasca bantuan itu dihentikan, maka sejak awal harus disadari bahwa suatu proses recovery dan rekonstruksi pasca bencana, warga korban harus diposisikan sebagai subyek dan bukan sebaliknya. Sehingga disinilah pentingnya pengembangan partisipasi masyarakat karena akan menempuh dua langkah sekaligus, yakni: (1). Memperkuat kapasitas kritis masyarakat dan (2). Memperkuat kelembagaan yang ada. Upaya perbaikan (recovery) pasca bencana melalui penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan social di desa dengan mengelaborasi konsep checks and balances melalui peran empat aktor (pemerintah, Warga, Pasar, dan Swasta;NGO,PT) merupakan salah satu solusi yang dapat ditawarkan, sehingga proses recovery tersebut bersifat holistik. Maka strategi yang mungkin dilakukan untuk melakukan suatu penanganan yang holistic terhadap recovery dan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui: (1). Penguatan kapasitas kelembagaan desa baik yang bersifat nilai-nilai lokalitas maupun kelembagaan yang bersifat institusi formal dengan memberikan mereka peran dan monitoring, sambil melakukan “tawar menawar” secara kritis dengan negara untuk membuka kembali konsep pembagian peran dan pemenuhan hak-hak dasar warga; (2). Strategi pembentukan regulasi tentang penanganan bencana yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas melalui konsep partisipasi, baik pada level pemerintah pusat sampai pemerintah desa yang mewacanakan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan dengan landasan pemikiran pemberdayaan masyarakat yang otonom; dan (3). Strategi pembagian peran dan koordinasi antar dan lintas 4 element ( pemerintah, warga, pasar, dan swata;NGO) dalam memperkuat kapasitas kritis masyarakat, baik pada level recovery maupun pada level penanggulangan resiko bencana dalam skema holistik
GAGASAN mengenai arti penting kedudukan dan peranan kelembagaan desa dalam skema pembangunan nasional dan penanganan bencana, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Sejak penguasaan masa kolonial, menyadari eksistensi kelembagaan yang ada di desa sebagai basis perlawanan rakyat revolusioner dengan tingkat solidaritas dan gotong royong relative tinggi merupakan modal sosial yang berpotensi untuk menentang dominasi kolonialisme kapitalis Belanda. Kekuatan nilai-nilai local wisdom tersebut satu sisi bukan hanya menakutkan bagi kolonialisme, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh kolonial untuk merumuskan konsep pemerintahan saat itu, hal itu terlihat pada pengakuan desa dan kelembagaan yang ada di dalamnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda melalui ordonansi khusus yang dikenal dengan nama De Indlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) yang dimaklumatkan melalui Ind. Stb. 1906 No. 83, yang dimaksudkan untuk mengatur urusan pengelolaan berikut kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas dan kelembagaan yang ada di pedesaan pribumi. Artinya bahwa Kolonialisme Belanda menganggap bahwa desa dengan kearifan yang dimilikinya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan sekaligus sebagai basis ekspolitasi, karena desa menyediakan berbagai hasil bumi serta tenaga kerja yang murah. Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada masa kekeuasaan rezim orde baru, dimana desa satu sisi diangap sebagai basis kekuatan ekonomi, khususnya dibidang pertanian, namun pada sisi yang lain kebijakan-kebijakan yang gulirkan cenderung mengeksploitasi desa serta masyarakat yang ada di dalamnya, sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat desa yang sebenarnya memiliki kemampuan survive harus takluk dalam skema sentralisasi dan eksploitasi.
Memasuki era reformasi, desa; sedikit banyak mengalami perubahan, khususnya pada level regulasi, dimana melalaui UU No.22tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004. Dalam beberapa klausulnya merekomendasikannya pengakuan hak-hak desa, seperti adanya kekebasan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya (kepada desa), membentuk berbagai kelompok sosial masyarakat serta adanya dana alokasi untuk desa yang diambil dari APBN.
Uraian tersebut diatas, setidaknya ada hal penting sebenarnya yang dapat kita formulasi dalam proses recovery pasca bencana maupun penanggulangan resiko bencana, khususnya yang terjadi dikawasan pedesaan, yaitu dengan optimalisasi potensi dan sumberdaya (local wisdom) yang ada di desa sebagai landasan untuk penanggulangan dan recovery bencana, anggapan ini tentu saja sesuai dengan pengalaman penulis ketika terlibat dalam proses recovery di Bantul, dimana sekitar 5 jam setelah gempa terjadi, saya dan kawan-kawan (dkk) LSM yang saya naungi melakukan evakuasi dan memberikan pertolongan kepada warga korban (kegiatan tersebut bersifat emergency respon; praktis tanpa perencanaan yang matang). Pada waktu yang bersamaan saya dkk menginisiasi pembentukan tim yang bertugas membantu korban. Tim ini beranggotakan; perwakilan dari seluruh tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kelompok dan kelembagaan sosial yang ada di desa, serta asosiasi-asosiasi dan perkumpulan warga yang ada di Bantul, atas kesepakatan bersama, maka tim ini diberi nama Tim Sukarelawan Pemulihan (TSP) Bantul. Ada tiga tugas utama tim ini yaitu; merekrut relawan, membuka akses jaringan bantuan, serta mediasi dan advokasi.
Pertama, rekruitmen relawan; adalah upaya yang dilakukan dalam rangka mencari dan mengalokasikan tenaga-tenaga sukarelawan untuk melakukan kerja-kerja evekuasi dan pertololongan baik medis maupun non medis. Sasaran rekrutmen relawan ini antaralain; mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (Jogjakarta, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat) serta masyarakat umum dari desa-desa yang ada disekitar DIY. Prinsip dasar rekrutmen relawan tersebut adalah solidaritas kemanusiaan. Proses rekrutmen relawan ini dengan menggunakan metode undangan terbuka dan kerjasama sosial kemanusiaan. a). Rekrutmen relawan dari perguruan tinggi; Proses rekrutmen relawan dari PT, TSP membuat surat permohonan kepada PT yang bersangkutan untuk mengirimkan mahasiswanya sebagai relawan dengan inisiatif bahwa mahasiswa yang tergabung dalam TSP dapat dan akan dikategorikan sebagai peserta Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud pengabdian masyarakat. Selain menggunakan permohonan resmi, ada juga beberapa perguruan tinggi dari luar DIY, yang mendaftarkan diri untuk bergabung di TSP baik person maupun kelompok.
b). Rekrutmen relawan dari Masyarakat Umum; Konsep dasar yang digunakan dalam merekrutmen relawan dari masyarakat umum, adalah solidaritas dan kerjasama antar kelembagaan sosial yang ada di desa-desa sekitar DIY. Penggunaan konsep ini dilatar belakangi oleh konsep hubungan sosial dan kekerabatan masyarakat Jawa (khususnya warga masyarakat Bantul dengan daerah sekitarnya) yang guyub rukun serta gotong royong. Oleh sebab itu Bantul sebagai salah satu barometer kekuatan kelembagaan desa, sehingga TSP tidak mengalami kesulitan mendapatkan relawan, dimana kekuatan yang dibangun adalah solidaritas dan kerjasama antar karang taruna, antar pedukuhan, antar RT, antar kelompok tani, pedagang, BPD dan antar pemerintah desa. Proses rekrutmen ini tentu saja yang kami libatkan adalah jaringan-jaringan kelembagaan sosial yang ada di desa, kami memberikan kebebasan dan otonom kepada mereka untuk merektrut relawan dari desa-desa tetangganya.
Hal yang penting sebelum melakukan rekrutmen relawan adalah perlu secara abstrak mengidentifikasi kebutuhan warga korban agar disesuaikan dengan kemampuan relawan dan penempatan relawan tersebut di posko-posko TSP.
Relawan yang sudah terdaftar di posko utama TSP, akan diberikan pengarahan, penjelasan, serta pembagian tugas dan wilayah pendirian posko (technical meeting) oleh tim Rekrument TSP. Semua peserta relawan teregistrasi di posko induk untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi. Dalam pembagian kelompok yang dialokasi di posko-pokso telah ditentukan, relawan dari suatu perguruan tinggi akan digabungkan dengan PT lain dan warga masyarakat umum, dengan tujuan untuk memudah interaksi sosial dan transformasi skill dan pengalaman.
Kedua, membuka akses jaringan bantuan. Kerja dari pencari bantuan ini adalah menggalang dukungan bantuan yang bersifat materi, seperti sembako, obat-obatan dan tenaga medis, pakaian, tenda, dan perabot rumah tangga, perlengkapan kerja. Dalam kerja-kerja membuka akses jaringan bantuan ini adalah tetap memberdayakan kelembagaan sosial yang ada di desa, dimana jaringan-jaringan kerjasama yang telah ada sebelum gempa tetap menjadi perhatian utama dari tim ini, alhasil selama melakukan tugasnya, tim pencari bantuan ini berhasil menghimpun dukungan bantuan materi dari berbagai desa yang ada di kabupaten-kabupaten disekitar DIY dan bahkan mendapatkan dari luar pulau jawa.
Ketiga, tim mediasi dan advokasi; tugas dari tim ini adalah memediasi masyarakat korban, baik dalam bentuk jaringan bantuan maupun berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga korban. Selain itu juga tim ini bekerja melakukan advokasi terhadap warga korban terkait memperjuangkan hak-haknya sebagai korban. Untuk diketahui bahwa penggunaan media massa merupakan hal penting untuk mentransformasikan informasi kondisi dilokasi bencana, dan saat saya yang beri tugas merekrut, mealokasikan, dan mengkoordinasikan melakukan kerja sama dengan beberapa radio dan media cetak yang ada di Jogjakarta untuk mengkomunikasikan hal tersebut.
Membantu yang Memberdayakan
Selama terlibat dalam TSP tersebut banyak hal dapat penulis temukan dilapangan, berbagai kejadian-kejadian yang dinggap diluar dugaan, kejadian-kejadian tersebut antaralain, adanya korban yang belum ditangani dengan baik oleh medis, baik kondisi fisiknya maupun masalah biaya, ada juga yang menumpuk bantuan (walaupun presentasenya kecil), cash for work, terjadinya perebutan wilayah kekuasaan “garapan” korban gempa, serta kasus-kasus lainnya yang menurut saya semua orang yang terlibat dalam proses recovery Jogjakarta, dan Bantul khususnya dapat menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut
Atas dasar pengalaman tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan menguraikan bagaimana sebenarnya skema memberikan bantuan yang memberdayakan. Gempa yang terjadi di Jogjakata dan daerah sekitar, tentunya diluar kempuan kita dengan teknologi yang masih minim untuk dapat memprediksikan bahwa itu akan terjadi, demikian juga dengan bencana alam-lainnya. Maka ketika kita berbicara penanganan pasca terjadinya bencana tersebut, maka siapapun yang akan terlibat dalam proses tersebut, syarat utama yang harus penuhi adalah mengatahui bagaimana kondisi masyarakat sebelum bencana dan setelah bencana. Syarat ini lebih diutamakan pada proses penanganan jangka panjang. Artinya identifikasi bukanya hanya dilakukan ada kebutuhan-kebutuhan warga korban, akan tetapi indentifikasi kondisi sosial masyarakat bertujuaan agar proses recovery tersebut tepat sasaran dan memberdayakan masyarakat.
Strategi bagi penguatan peranan kelembagaan desa (memberdayakan) dalam menanggulangi dan penanganan pasca bencana dapat dilakukan melalui analisis isu utama dan isu fungsional dalam skema penanggulangan bencana. Sebagai isu utama, perlu dilakukan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai konstitusional bagi penanganan bencana. Hal ini berarti diperlukan langkah langkah-langkah strategis secara berkelanjutan untuk mendesakkan agenda penyusunan konstitusi, dengan menskenariokan penguatan kewenangan pemerintah lokal dan kelembagaan lokal ke dalam konstitusi. Strategi ini bertujuan untuk memudahakan koordinasi dan penguatan kerjasama antar pemerintah daerah serta adanya desentralisasi kewenangan dalam membuat kebijakan tentang penanganan bencana, dimana pemerintah pusat hanya bersifat fasilitator dengan memakasimalkan tugas pembantuannya kepada daerah. Manakala pengakuan secara konstitusional masalah penanggulangan resiko bencana ini sudah berhasil diperoleh, langkah-langkah strategis yang menjadi bagian dari isu sekunder, fungsional dan minor akan lebih mudah dilakukan secara gradual. Dimana pemerintah daerah harus dengan giat mendorong partisipasi masyarakat agar terlibat dalam berbagai perumusan kebijakan dan implementasinya, khususnya yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana, sehingga proses tersebut menjadi upaya memberdayakan masyarakat.
Salah satu metode untuk menggerakan arah perubahan dan perbaikan pasca bencana dari bawah adalah melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat, khususnya masyarakat desa. Partisipasi yang hendak dikembangkan didasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan hitam dan putihnya kondisi pemerintah, sosial, ekonomi, politik dan budaya di daerahnya. Warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan arah gerak sosial kultur serta kinerja pemerintah. Hak tersebut terkait langsung dengan eksistensi rakyat dalam skema kenegaraan. Oleh sebab itu, menjadi ironis kemudian ketika proses penanganan bencana yang terjadi saat ini, baik pemerintah maupun NGO cenderung melakukan “intrevensi” terhadap hak-hak warga masyarakat, khususnya warga korban, dengan menegasikan nilai-nilai lokalitas yang terintegrasi dalam kelembagaan lokal. Penanganan bencana ini tentu saja dirumuskan dalam penanganan jangka panjang. Para pemberi bantuan (siapapun) harus merumuskan dan memprediksikan apa yang akan terjadi pasca bantuan itu dihentikan, maka sejak awal harus disadari bahwa suatu proses recovery dan rekonstruksi pasca bencana, warga korban harus diposisikan sebagai subyek dan bukan sebaliknya. Sehingga disinilah pentingnya pengembangan partisipasi masyarakat karena akan menempuh dua langkah sekaligus, yakni: (1). Memperkuat kapasitas kritis masyarakat dan (2). Memperkuat kelembagaan yang ada. Upaya perbaikan (recovery) pasca bencana melalui penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan social di desa dengan mengelaborasi konsep checks and balances melalui peran empat aktor (pemerintah, Warga, Pasar, dan Swasta;NGO,PT) merupakan salah satu solusi yang dapat ditawarkan, sehingga proses recovery tersebut bersifat holistik. Maka strategi yang mungkin dilakukan untuk melakukan suatu penanganan yang holistic terhadap recovery dan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui: (1). Penguatan kapasitas kelembagaan desa baik yang bersifat nilai-nilai lokalitas maupun kelembagaan yang bersifat institusi formal dengan memberikan mereka peran dan monitoring, sambil melakukan “tawar menawar” secara kritis dengan negara untuk membuka kembali konsep pembagian peran dan pemenuhan hak-hak dasar warga; (2). Strategi pembentukan regulasi tentang penanganan bencana yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas melalui konsep partisipasi, baik pada level pemerintah pusat sampai pemerintah desa yang mewacanakan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan dengan landasan pemikiran pemberdayaan masyarakat yang otonom; dan (3). Strategi pembagian peran dan koordinasi antar dan lintas 4 element ( pemerintah, warga, pasar, dan swata;NGO) dalam memperkuat kapasitas kritis masyarakat, baik pada level recovery maupun pada level penanggulangan resiko bencana dalam skema holistik
Regulasi Porno
Analisis tentang Undang-Undang Anti Porno Akasi dan Pornografi
Oleh: Syarief Ariefaid al-flourez
A. Latar Belakang
Sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pronoaksi masih mengundang perdebatan masyarakat. Tidak mudah memang membuat suatu produk hukum yang dapat memuaskan seluruh lapisan masyarakat. Tetapi ini tidak bisa menjadi alasan untuk dengan gampang dan cepat mengesahkan RUU-APP, apalagi kita semua sudah sepakat untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu demokrasi tanpa diskriminasi walaupun acuan demokrasi prosedural mengarah pada pengakuan suara mayoritas.
Ketika bangsa ini sukses mengadakan pemilu secara langsung pada tahun 1999, terlontar suatu argumentasidan bahkan pujian dari pemimpi negara tentangga termasuk Amerika yang menilai bahwa Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan syarat kalau saat ini prosesnya berada pada jalan yang tepat.
Menyimak kontrovesi RUU-APP yang masih terus bergulir, sebaiknya semua pihak baik pemerintah, DPR dan semua golongan masyarakat yang peduli terhadap RU-APP, agar dalam merumuskan substansi RUU-APP memperhatikan karakter heterogenitas masyarakatnya. DPR dan pemerintah seyogyanya tidak larut dan terbawa arus terhadap tekanan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat maupun person. Meskipun eksistensi DPR secara formal merupakan representasi rakyat, tetapi secara substansial amat naif bila mewakili suara etnik dan suku bangsa yang jumlahnya ratusan. Konteks demokrasi, para wakil rakyat di tuntut memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia, sehingga setiap keputusan yang diambil dan yang akan dijadikan suatu aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diterima secara “legowo” oleh semua pihak (elemen bangsa).
Oleh sebab itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah seharusnya mendengarkan “silent voice” kelompok masyarakat yang karena keterbatasanya dalam segala hal (kurangnya pengetahuan, terbatasnya akses informasi dan komunikasi, minoritas, dan kurangnya keberanian) tidak bisa menyampaikan aspirasi, suara dan pendapatnya dengan lantang, sistematis dan agresif tetapi penting untuk didengar, karena nantinya UU itu setelah disahkan wajib dipatuhi oleh seluruh rakyatnya. Jadi berbagai kajian baik secara kademis, secara sosial bahkan secara adat-istiadat harus dilakukan guna menghasilkan suatu produk undang-undang yang memiliki kualitas demokrasi.
Perlu kita ketahui bahwa tidak ada satu ajaran agama-pun dan bahkan aliran kepercayaan di negeri ini yang tidak peduli dan tidak menganjurkan pengikutnya untuk bermoral baik, dan disisilain tidak ada satu bangsapun yang tidak mengakui akan kanekaragaman suku, budaya dan agama di negeri ini. Seyogyanya DPR lebih proaktif turun kedaerah seluruh Indonesia dan berdialog langsung dengan masyarakat setempat, untuk menampung aspirasi dan suara sebanyak mungkin, sehingga “silent voice” bisa diungkap dan digali
Pro dan Kontra RUU-APP
Banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kalangan masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, artis, aktivis maupun kalangan ibu rumah tangga di berbagai daerah di Indonesia yang menolak maupun mendukung RUU-APP, bukan hanya menunjukan terjadinya pro dan kontra terhadap RUU tersebut akan tetapi juga menunjukan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikuturalisme (bangsa yang majemuk). Bagi mereka yang mendukung disahkannya RUU-APP baik person maupun kelompok, tentunya di dasari sebuah social movment (gerakan sosial) karena kondisi bangsa “ yang mengalami degradasi moral”. Dimana arus globalisasi yang menghantarkan kehidapan sosial masyarakat Indonesia terjerat dalam konstelasi kehidupan westernisasi ( kebarat-baratan). Secara kasat mata kita dapat melihat secara langsung berbagai fenomena sosial yang terjadi pada dekade terakhri ini. Dari berbagai pantuan dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, baik memalui media cetak, media elektronik maupun media massa menunjukan bahwa reaksi keras untuk mendukung disahkannya RUU-APP ini disebabkan telah bergesernya nilai-nilai dan tatakrama masyarakat Indonesia, baik dalam hal tutur-kata maupun berpenampilan (pakian). Banyak kasus pemerkosaan, pelecehan seksual dan tindakan-tindakan porno aksi dan pronografi ditunding karena ketidak mampun negara memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi sehingga berdampak pada liberalisasi pornografi dan pronoaksi dalam rangka meningkatkan pamor dan strata sosial dalam kehidupan masyarakat yang memasuki fase modernitas.
Pada sisi lain, bagi kelompok yang menolak disahkannya RUU-APP ini juga memiliki argumentasi yang cukup relevan dan ilmiah. Dalam benak kita mungkin masih ingat ketika sekelompok aktivis perempuan melakukan aksi demostrasi di Jakarta, dimana dalam spanduk dan orasinya berbunyi “ Tolak pornoaksi dan pornografi dan tolak RUU-APP”. Dan bahkan kalangan artis dan juga aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Bhineka Tungal Ika, secara tegas menolak RUU-APP, dengan alasan RUU ini akan berdampak negatif pada disintegrasi bangsa, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk”. Menurut kalangan yang kontra dengan RUU-APP ini bahwa terjadinya degredasi moral bangsa, tidak serta merta harus dibuat suatu undang-undang yang sarat dengan diskriminasi, baik diskrimisai sosial, budaya, gender maupun diskriminasi agama. Jadi kalangan ini menolak adanya anggapan bahwa kasuistik terjadinya pelecehan seksualitas dan terjadinya pornoaksi dan pronografi dalam masyarakat kita jangan didefenisikan secara parsial (sepihak). Menurut mereka (yang kontra) bahwa DPR harus benar-benar mengakomodir kepetingan seluruh elemen bangsa dalam membuat suatu regulasi, artinya kondisi sosio-kultural Indonesia yang multikulturalisme harus dijadikan acuan.
Masalah
Jika RUU-APP yang begitu kontrovesial ini akan disahkan, apa yang akan terjadi dengan heterogenitas dan multikulturalisme di bangsa kita? Siapakah yang harus bertanggungjawab terjadinya berbagai “kejahatan pornografi dan pornoaksi di negara ini?
Hipotesis
Konsesus dasar demokratis menerima secara loyal, dalam batas-batas undang-undang dalam batasan-batasaan undang-undang dasar dan hak asasi manusia, apa yang diputuskan mayoritas demokratis – akan seirus terancam. Maka ada baiknya kita melihat kembali argumentasi yang dikemukakan oleh kedua belah pihak (pro dan kontra). Sebenarnya ada dua argumentasi mendasar. Bahwa bagi mereka menuntut disahkannya RUU-APP menunjuk pada merajalelanya pornografii dan pornoaksi yang mengancam generasi muda. Secara moralitas dan secara hatinurani-pun kita mengakui bahwa pentingnya membimbing generasi muda agar tidak terjebak dalam arus globalisasi yang mengatasnamanakan modernisasi sehingga menegasikan budaya timur. Hal ini juga sperti yang argumentasikan dengan amat mengesankan oleh Santi WE Soekanto bahwa menurunya kualitas moral bangsa disebabkan ketidak mampun negara dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi . (Jakarta, post, 17/3/2006). Karena itu NU mendukung RUU tersebut.
Apabila kita mau mencapai konsesus antara mainstrem (cara berpikir) kedua pihak, perlu disadari mereka yang menentang RUU ini dalam bentuk sekarang sama sekali tidak menetang keprihatinan itu. Mereka pun amat khawatir dengan banyaknya produk pornografik (tak ada kontrovesi tentang itu) yang mudah terakses dimana-mana. Baik itu dilakukan oleh generasi muda, orang tua dan bahkan oleh anak-anak. Banyak kasus dinegeri ini yang mencerikan dan mengisahkan tentang berbegai kejahatan pornografis dan pornoaksi. Akan tetapi bagaimana penanganan yang dilakukan oleh pemerintah? Aturan hukum-pun sudah ada ( KUHP), toh kasus-kasus yang bertentangan dengan “moralitas” –setiap waktu meningkat.
Yangmenjadi argumen para penentang adalah RUU-APP tidak akan mengatasi masalah yang kita prihatinkan bersama, bahkan bisa berbahaya. Jadi persolannya bukan pada keprihatinan ;bahwa meraka yang prihatin dengan ancaman pornograi berhadapan dengan mereka yang tidak peduli atau mempuyai pandangan liberal. Para penentang juga prihatin. Tetapi setelah mempelajari apa yang tertulis dalam RUU-APP, mereka menyimpulkan, dari pada mengatasi pornografi yang merajalela, RUU-APP diam-diam memaksakan pandangan asing pada masyarakat.
Jadi menurut saya jika RUU-APP ini tetap disahkan, maka dampak yang pertama dirasakan adalah, adanya parsialisme penafsiran terhadap tindakan-tindakan pronografi dan poraksi, hal ini kita bisa buktikan dengan kasus yang terjadi di daerah Tanggerang yang membuat undang-undang sektoral (perda) dimana peraturan daerah tersebut sangat parsial dan sempit sekali dalam memahami “kejahatan pornografi dan pornoaksi” sehingga aparat pelaksana pemerintah melakukan tindakan-semena-mena terhadap masyarakatnya sendiri. Hal ini baru sedikit persoalan dari pola perilaku masyarakat. Lalu bagiamana dengan persolan budaya dan ada istiadat yang ada di bangsa ini. Apakah berbusana ala “koteka” Papua, termasuk dalam kategori tersebut,? Apakah berpakaian “temben” ala Jawa akan mendapatkan sanksi dari RUU-APP tersebut, Apakah Bali harus mengeluarkan aturan yang keras bagai para wisatawannya agara tidak boleh menggunakan pakaian yang bisa menimbulkan birahi dan sensualitas? Ataukah warga “dayak” di kalimantan dalam upacara adatnya harus diberikan “selimut” agar auratnya tertutup. Pertanyaan ini akan selalu diucapkan oleh siapanpun yang merasa diri kontra dengan RUU-APP ini, sebab DPR dalam argumentasinya mengatakan bahwa tidak ada pengecualian dalam menerapkan UU ini. Termasuk Bali dan Papua.
Sungguh ironis kemudian, mengatasi terjadinya degradasi moral bangsa harus dibuatkan suatu produk hukum yang justru menghancurkan budaya dan adat istiadat bangsa. Menurut saya, hal yang terpenting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan agar rancangan undang-undanga tersebut bukan lagi berbicara pada batas-batasan mana pendefenisian pornografi dan pornoaksi melainkan harus melakukan upaya proteksi pada sektor, yaitu menjawab penyebab mengapa terjadinya degradasi moral bangsa? Dan mengapa banyak kalangan masyarakat menolak UU tersebut. Saya kira yang paling pokok. Apakah pemerintah sudah secara serius membasmi kasus kekerasan dalam rumah tangga?, apakah pemerintah sudah sukses mengatasi kasus pemerkosaan terhadap anak? Apakah pemerintah sudah final mengatasi persoalan protitusi?. Seharunya pemerintah selesaiakan dulu persoalan ini karena produk hukumya sudah ada. Lagi-lagi persoalannya adalah implementasi yang belum optimal.
Ihwal merajalelanya barang-barang pornografis dan pornoaksi, sebenarnya bukan masalah kekurangan sarana hukum. Apalagi seperti yang ditegaskan Profesor Muladi (kompas,19/3), RUU KUHP juga memuat pasal-pasal anti porno. Pornografi merajalela karena tidak bisa atau tidak mau ditindak. Namun jika RUU-APP mau menegaskan kembali pelarangan atasa barang pornografis (seperti rencana revisi RUU) tentu bisa disambut baik, dengan catatan bahwa undang-undang terbaik-pun tidak bermanfaat jiika tidak dilaksanakan.
RUU-APP dinilai berbahaya, sebab RUU tersebut mencampur-adukkan dua hal yang tidak sama, yaitu hal porno dengan hal yang tidak sopan (suara Pembaruan, 20,/2). Apalagi RUU-APP salah mengerti tentang apa yang dimaskud dengan “erotik”. Jadi RUU ini bisa dikatakan mengkriminalisasikan sebagai porno bukan hanya apa yang umumnya dianggap porno. Memperlihatkan bagian-bagian tubuh perempuan, dalam situasi tertentu, mungkin tidak sopan, tetapi tidak porno. Memornokan bagian–bagian perempuan adalah asing bagi kebanyakan budaya di Indoensia. Jika pornoisasi ini menjadi UU, maka sederet cara laki-laki dana perempuan Indoensia (bukan hanya di Bali dan Papua) mandi, berpakian (pakian rileks dirumah, pakian kerja, pakaian pesta, pakaian tarian terhormat, termasuk yang bersuasan religius), atau berlibur; akan dikriminalisasikan.
Dengan demikian RUU-APP ini melindas keanekaragaman budaya tradisional yang menjadi identitas plural Indonesia sejak ratusan tahun. RUU APP merupakan sebuah serangan terhadap identitas budaya nusantara. ( Frans Magnis- Suseno SJ)
Melacak Terjadi Pornoisme
Dalam kondisi bangsa yang “carut-marut’ karena tidak adanya kapastian dan ketegasan hukum, merupakan dampak yang cukup signifikasn terjadinya “trouble trust” (minim kepercayaan) masyarakat terhadap para penyelenggara pemerintahan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang diikuti oleh masa transisi yang juga belum usai, juga menjadi faktor terjadinya “labilitas” masyarakat Indonesia dalam mengukuhkan moralitas sebagai benteng pertahanan dalam kancah globaliasi. Seperti yang kita katahui bahwa diera globaliasi saat ini segala akses informasi dan porses transformasi begitu cepat terjadi, sehingga manusia yang satu dengan yang lainnya, negara satu dengan negara yang lainnya seolah-olah tiada sekat yang membatasi. Menurut pemhaman saya bahwa meningkatanya kasus pronografi dan pornoaksi di negara ini, tidak lepas dari kuatnya ekspansi mondernisasi melalui berbagai media yang dikuatkan oleh proses liberalisasi terhadap bangsa Indonesia yang akhirinya berdampak juga terhadap liberalisasi dan eksploitasi seksualitas sebagai bagian dari pertarungan agar tetap survive dalam kondisi apapun.
Ketidak mampuan pemerintah dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi dengan ekspansi kapitalismenya, memaksa pada masyarakat Indonesia harus menentukan jalan sendiri dalam menyikapi kehidupan. Yang akhirnya dalam kondisi “putus asa” DPR merancang aturan yang sebenarnya memiliki niat baik, akan tetapi cenderung diangap sebagai sikap yang “over protectif” yang bisa berdampak pada degredasi niali budaya bangsa. Oleh sebab itu menurut saya hal yang paling berpengaruh terhadap berbagai kejahatan pornografi dan pornoaksi adalah terjadinya liberaliasi terhadap media. Sebab menurut saya media (baik cetak maupun elektronik) merupakan sarana yang paling efektif dalam mengubah pola perilaku dan sikap. Artinya pemerintah juga harus bisa membenahi tentang hak-hak penyiaran, hak-hak penerbitan yang tentunya dalam konteks mendefenisikan pornoisme tersebut tidak dilakukan secara parsial.
RUU-APP, secara prinsipil, menurut saya bertujuan untuk membenahi krisis moral yang terjadi di negeri ini, namun disisi lain secara substantif RUU–APP ini mengeasikan kondisi pluralisme, sebab tidak ada satu agamapun yang menghalalkan pronografi dan proaksi tersebut, namun demikian DPR harus secara jeli mendefenisikan porno tersebut sehingga bisa mengakomodir seleruh kepentingan masyarakat bangsa. Bila dilihat bahwa kurang kompetensi perumus RUU anti pornografi merupakan fakta yang berdampak negatif terjadinya pro dan kontra dalam masyarakat, dimana para penyusun sebagaimana yang disebutkana oleh Frans M. Suseno; meraka tidak mampu membedakan antara porno dan erotis dan tidak mampu mendefenisikan secara spesifik apa yang disebut dengan porno. Oleh karena itu menurut Frans. Kalau RUU ini dibuta oleh orang yang tidak paham akan porno ,aka akan menimbulkan petaka, itu bukan karena mereka acuh tak acuh terhadap ancaman pornografi yang beredar melainkan karena RUU–APP ini sarana yang salah. Kalau disamping RUU KHUP sebuah undang-undang antiporno memang masih dianggap perlu, UU itu hahrus tegas-tegas mengkriminalisasikan pengedaran barang-barang porno, tetapi kriminalisasi pola pakaian perempuan tentu harus didefenisikan secara jelas dan tidak diskriminatif.
Oleh: Syarief Ariefaid al-flourez
A. Latar Belakang
Sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pronoaksi masih mengundang perdebatan masyarakat. Tidak mudah memang membuat suatu produk hukum yang dapat memuaskan seluruh lapisan masyarakat. Tetapi ini tidak bisa menjadi alasan untuk dengan gampang dan cepat mengesahkan RUU-APP, apalagi kita semua sudah sepakat untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu demokrasi tanpa diskriminasi walaupun acuan demokrasi prosedural mengarah pada pengakuan suara mayoritas.
Ketika bangsa ini sukses mengadakan pemilu secara langsung pada tahun 1999, terlontar suatu argumentasidan bahkan pujian dari pemimpi negara tentangga termasuk Amerika yang menilai bahwa Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan syarat kalau saat ini prosesnya berada pada jalan yang tepat.
Menyimak kontrovesi RUU-APP yang masih terus bergulir, sebaiknya semua pihak baik pemerintah, DPR dan semua golongan masyarakat yang peduli terhadap RU-APP, agar dalam merumuskan substansi RUU-APP memperhatikan karakter heterogenitas masyarakatnya. DPR dan pemerintah seyogyanya tidak larut dan terbawa arus terhadap tekanan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat maupun person. Meskipun eksistensi DPR secara formal merupakan representasi rakyat, tetapi secara substansial amat naif bila mewakili suara etnik dan suku bangsa yang jumlahnya ratusan. Konteks demokrasi, para wakil rakyat di tuntut memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia, sehingga setiap keputusan yang diambil dan yang akan dijadikan suatu aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diterima secara “legowo” oleh semua pihak (elemen bangsa).
Oleh sebab itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah seharusnya mendengarkan “silent voice” kelompok masyarakat yang karena keterbatasanya dalam segala hal (kurangnya pengetahuan, terbatasnya akses informasi dan komunikasi, minoritas, dan kurangnya keberanian) tidak bisa menyampaikan aspirasi, suara dan pendapatnya dengan lantang, sistematis dan agresif tetapi penting untuk didengar, karena nantinya UU itu setelah disahkan wajib dipatuhi oleh seluruh rakyatnya. Jadi berbagai kajian baik secara kademis, secara sosial bahkan secara adat-istiadat harus dilakukan guna menghasilkan suatu produk undang-undang yang memiliki kualitas demokrasi.
Perlu kita ketahui bahwa tidak ada satu ajaran agama-pun dan bahkan aliran kepercayaan di negeri ini yang tidak peduli dan tidak menganjurkan pengikutnya untuk bermoral baik, dan disisilain tidak ada satu bangsapun yang tidak mengakui akan kanekaragaman suku, budaya dan agama di negeri ini. Seyogyanya DPR lebih proaktif turun kedaerah seluruh Indonesia dan berdialog langsung dengan masyarakat setempat, untuk menampung aspirasi dan suara sebanyak mungkin, sehingga “silent voice” bisa diungkap dan digali
Pro dan Kontra RUU-APP
Banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kalangan masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, artis, aktivis maupun kalangan ibu rumah tangga di berbagai daerah di Indonesia yang menolak maupun mendukung RUU-APP, bukan hanya menunjukan terjadinya pro dan kontra terhadap RUU tersebut akan tetapi juga menunjukan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikuturalisme (bangsa yang majemuk). Bagi mereka yang mendukung disahkannya RUU-APP baik person maupun kelompok, tentunya di dasari sebuah social movment (gerakan sosial) karena kondisi bangsa “ yang mengalami degradasi moral”. Dimana arus globalisasi yang menghantarkan kehidapan sosial masyarakat Indonesia terjerat dalam konstelasi kehidupan westernisasi ( kebarat-baratan). Secara kasat mata kita dapat melihat secara langsung berbagai fenomena sosial yang terjadi pada dekade terakhri ini. Dari berbagai pantuan dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, baik memalui media cetak, media elektronik maupun media massa menunjukan bahwa reaksi keras untuk mendukung disahkannya RUU-APP ini disebabkan telah bergesernya nilai-nilai dan tatakrama masyarakat Indonesia, baik dalam hal tutur-kata maupun berpenampilan (pakian). Banyak kasus pemerkosaan, pelecehan seksual dan tindakan-tindakan porno aksi dan pronografi ditunding karena ketidak mampun negara memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi sehingga berdampak pada liberalisasi pornografi dan pronoaksi dalam rangka meningkatkan pamor dan strata sosial dalam kehidupan masyarakat yang memasuki fase modernitas.
Pada sisi lain, bagi kelompok yang menolak disahkannya RUU-APP ini juga memiliki argumentasi yang cukup relevan dan ilmiah. Dalam benak kita mungkin masih ingat ketika sekelompok aktivis perempuan melakukan aksi demostrasi di Jakarta, dimana dalam spanduk dan orasinya berbunyi “ Tolak pornoaksi dan pornografi dan tolak RUU-APP”. Dan bahkan kalangan artis dan juga aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Bhineka Tungal Ika, secara tegas menolak RUU-APP, dengan alasan RUU ini akan berdampak negatif pada disintegrasi bangsa, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk”. Menurut kalangan yang kontra dengan RUU-APP ini bahwa terjadinya degredasi moral bangsa, tidak serta merta harus dibuat suatu undang-undang yang sarat dengan diskriminasi, baik diskrimisai sosial, budaya, gender maupun diskriminasi agama. Jadi kalangan ini menolak adanya anggapan bahwa kasuistik terjadinya pelecehan seksualitas dan terjadinya pornoaksi dan pronografi dalam masyarakat kita jangan didefenisikan secara parsial (sepihak). Menurut mereka (yang kontra) bahwa DPR harus benar-benar mengakomodir kepetingan seluruh elemen bangsa dalam membuat suatu regulasi, artinya kondisi sosio-kultural Indonesia yang multikulturalisme harus dijadikan acuan.
Masalah
Jika RUU-APP yang begitu kontrovesial ini akan disahkan, apa yang akan terjadi dengan heterogenitas dan multikulturalisme di bangsa kita? Siapakah yang harus bertanggungjawab terjadinya berbagai “kejahatan pornografi dan pornoaksi di negara ini?
Hipotesis
Konsesus dasar demokratis menerima secara loyal, dalam batas-batas undang-undang dalam batasan-batasaan undang-undang dasar dan hak asasi manusia, apa yang diputuskan mayoritas demokratis – akan seirus terancam. Maka ada baiknya kita melihat kembali argumentasi yang dikemukakan oleh kedua belah pihak (pro dan kontra). Sebenarnya ada dua argumentasi mendasar. Bahwa bagi mereka menuntut disahkannya RUU-APP menunjuk pada merajalelanya pornografii dan pornoaksi yang mengancam generasi muda. Secara moralitas dan secara hatinurani-pun kita mengakui bahwa pentingnya membimbing generasi muda agar tidak terjebak dalam arus globalisasi yang mengatasnamanakan modernisasi sehingga menegasikan budaya timur. Hal ini juga sperti yang argumentasikan dengan amat mengesankan oleh Santi WE Soekanto bahwa menurunya kualitas moral bangsa disebabkan ketidak mampun negara dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi . (Jakarta, post, 17/3/2006). Karena itu NU mendukung RUU tersebut.
Apabila kita mau mencapai konsesus antara mainstrem (cara berpikir) kedua pihak, perlu disadari mereka yang menentang RUU ini dalam bentuk sekarang sama sekali tidak menetang keprihatinan itu. Mereka pun amat khawatir dengan banyaknya produk pornografik (tak ada kontrovesi tentang itu) yang mudah terakses dimana-mana. Baik itu dilakukan oleh generasi muda, orang tua dan bahkan oleh anak-anak. Banyak kasus dinegeri ini yang mencerikan dan mengisahkan tentang berbegai kejahatan pornografis dan pornoaksi. Akan tetapi bagaimana penanganan yang dilakukan oleh pemerintah? Aturan hukum-pun sudah ada ( KUHP), toh kasus-kasus yang bertentangan dengan “moralitas” –setiap waktu meningkat.
Yangmenjadi argumen para penentang adalah RUU-APP tidak akan mengatasi masalah yang kita prihatinkan bersama, bahkan bisa berbahaya. Jadi persolannya bukan pada keprihatinan ;bahwa meraka yang prihatin dengan ancaman pornograi berhadapan dengan mereka yang tidak peduli atau mempuyai pandangan liberal. Para penentang juga prihatin. Tetapi setelah mempelajari apa yang tertulis dalam RUU-APP, mereka menyimpulkan, dari pada mengatasi pornografi yang merajalela, RUU-APP diam-diam memaksakan pandangan asing pada masyarakat.
Jadi menurut saya jika RUU-APP ini tetap disahkan, maka dampak yang pertama dirasakan adalah, adanya parsialisme penafsiran terhadap tindakan-tindakan pronografi dan poraksi, hal ini kita bisa buktikan dengan kasus yang terjadi di daerah Tanggerang yang membuat undang-undang sektoral (perda) dimana peraturan daerah tersebut sangat parsial dan sempit sekali dalam memahami “kejahatan pornografi dan pornoaksi” sehingga aparat pelaksana pemerintah melakukan tindakan-semena-mena terhadap masyarakatnya sendiri. Hal ini baru sedikit persoalan dari pola perilaku masyarakat. Lalu bagiamana dengan persolan budaya dan ada istiadat yang ada di bangsa ini. Apakah berbusana ala “koteka” Papua, termasuk dalam kategori tersebut,? Apakah berpakaian “temben” ala Jawa akan mendapatkan sanksi dari RUU-APP tersebut, Apakah Bali harus mengeluarkan aturan yang keras bagai para wisatawannya agara tidak boleh menggunakan pakaian yang bisa menimbulkan birahi dan sensualitas? Ataukah warga “dayak” di kalimantan dalam upacara adatnya harus diberikan “selimut” agar auratnya tertutup. Pertanyaan ini akan selalu diucapkan oleh siapanpun yang merasa diri kontra dengan RUU-APP ini, sebab DPR dalam argumentasinya mengatakan bahwa tidak ada pengecualian dalam menerapkan UU ini. Termasuk Bali dan Papua.
Sungguh ironis kemudian, mengatasi terjadinya degradasi moral bangsa harus dibuatkan suatu produk hukum yang justru menghancurkan budaya dan adat istiadat bangsa. Menurut saya, hal yang terpenting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan agar rancangan undang-undanga tersebut bukan lagi berbicara pada batas-batasan mana pendefenisian pornografi dan pornoaksi melainkan harus melakukan upaya proteksi pada sektor, yaitu menjawab penyebab mengapa terjadinya degradasi moral bangsa? Dan mengapa banyak kalangan masyarakat menolak UU tersebut. Saya kira yang paling pokok. Apakah pemerintah sudah secara serius membasmi kasus kekerasan dalam rumah tangga?, apakah pemerintah sudah sukses mengatasi kasus pemerkosaan terhadap anak? Apakah pemerintah sudah final mengatasi persoalan protitusi?. Seharunya pemerintah selesaiakan dulu persoalan ini karena produk hukumya sudah ada. Lagi-lagi persoalannya adalah implementasi yang belum optimal.
Ihwal merajalelanya barang-barang pornografis dan pornoaksi, sebenarnya bukan masalah kekurangan sarana hukum. Apalagi seperti yang ditegaskan Profesor Muladi (kompas,19/3), RUU KUHP juga memuat pasal-pasal anti porno. Pornografi merajalela karena tidak bisa atau tidak mau ditindak. Namun jika RUU-APP mau menegaskan kembali pelarangan atasa barang pornografis (seperti rencana revisi RUU) tentu bisa disambut baik, dengan catatan bahwa undang-undang terbaik-pun tidak bermanfaat jiika tidak dilaksanakan.
RUU-APP dinilai berbahaya, sebab RUU tersebut mencampur-adukkan dua hal yang tidak sama, yaitu hal porno dengan hal yang tidak sopan (suara Pembaruan, 20,/2). Apalagi RUU-APP salah mengerti tentang apa yang dimaskud dengan “erotik”. Jadi RUU ini bisa dikatakan mengkriminalisasikan sebagai porno bukan hanya apa yang umumnya dianggap porno. Memperlihatkan bagian-bagian tubuh perempuan, dalam situasi tertentu, mungkin tidak sopan, tetapi tidak porno. Memornokan bagian–bagian perempuan adalah asing bagi kebanyakan budaya di Indoensia. Jika pornoisasi ini menjadi UU, maka sederet cara laki-laki dana perempuan Indoensia (bukan hanya di Bali dan Papua) mandi, berpakian (pakian rileks dirumah, pakian kerja, pakaian pesta, pakaian tarian terhormat, termasuk yang bersuasan religius), atau berlibur; akan dikriminalisasikan.
Dengan demikian RUU-APP ini melindas keanekaragaman budaya tradisional yang menjadi identitas plural Indonesia sejak ratusan tahun. RUU APP merupakan sebuah serangan terhadap identitas budaya nusantara. ( Frans Magnis- Suseno SJ)
Melacak Terjadi Pornoisme
Dalam kondisi bangsa yang “carut-marut’ karena tidak adanya kapastian dan ketegasan hukum, merupakan dampak yang cukup signifikasn terjadinya “trouble trust” (minim kepercayaan) masyarakat terhadap para penyelenggara pemerintahan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang diikuti oleh masa transisi yang juga belum usai, juga menjadi faktor terjadinya “labilitas” masyarakat Indonesia dalam mengukuhkan moralitas sebagai benteng pertahanan dalam kancah globaliasi. Seperti yang kita katahui bahwa diera globaliasi saat ini segala akses informasi dan porses transformasi begitu cepat terjadi, sehingga manusia yang satu dengan yang lainnya, negara satu dengan negara yang lainnya seolah-olah tiada sekat yang membatasi. Menurut pemhaman saya bahwa meningkatanya kasus pronografi dan pornoaksi di negara ini, tidak lepas dari kuatnya ekspansi mondernisasi melalui berbagai media yang dikuatkan oleh proses liberalisasi terhadap bangsa Indonesia yang akhirinya berdampak juga terhadap liberalisasi dan eksploitasi seksualitas sebagai bagian dari pertarungan agar tetap survive dalam kondisi apapun.
Ketidak mampuan pemerintah dalam memproteksi kuatnya arus modernisasi dan globalisasi dengan ekspansi kapitalismenya, memaksa pada masyarakat Indonesia harus menentukan jalan sendiri dalam menyikapi kehidupan. Yang akhirnya dalam kondisi “putus asa” DPR merancang aturan yang sebenarnya memiliki niat baik, akan tetapi cenderung diangap sebagai sikap yang “over protectif” yang bisa berdampak pada degredasi niali budaya bangsa. Oleh sebab itu menurut saya hal yang paling berpengaruh terhadap berbagai kejahatan pornografi dan pornoaksi adalah terjadinya liberaliasi terhadap media. Sebab menurut saya media (baik cetak maupun elektronik) merupakan sarana yang paling efektif dalam mengubah pola perilaku dan sikap. Artinya pemerintah juga harus bisa membenahi tentang hak-hak penyiaran, hak-hak penerbitan yang tentunya dalam konteks mendefenisikan pornoisme tersebut tidak dilakukan secara parsial.
RUU-APP, secara prinsipil, menurut saya bertujuan untuk membenahi krisis moral yang terjadi di negeri ini, namun disisi lain secara substantif RUU–APP ini mengeasikan kondisi pluralisme, sebab tidak ada satu agamapun yang menghalalkan pronografi dan proaksi tersebut, namun demikian DPR harus secara jeli mendefenisikan porno tersebut sehingga bisa mengakomodir seleruh kepentingan masyarakat bangsa. Bila dilihat bahwa kurang kompetensi perumus RUU anti pornografi merupakan fakta yang berdampak negatif terjadinya pro dan kontra dalam masyarakat, dimana para penyusun sebagaimana yang disebutkana oleh Frans M. Suseno; meraka tidak mampu membedakan antara porno dan erotis dan tidak mampu mendefenisikan secara spesifik apa yang disebut dengan porno. Oleh karena itu menurut Frans. Kalau RUU ini dibuta oleh orang yang tidak paham akan porno ,aka akan menimbulkan petaka, itu bukan karena mereka acuh tak acuh terhadap ancaman pornografi yang beredar melainkan karena RUU–APP ini sarana yang salah. Kalau disamping RUU KHUP sebuah undang-undang antiporno memang masih dianggap perlu, UU itu hahrus tegas-tegas mengkriminalisasikan pengedaran barang-barang porno, tetapi kriminalisasi pola pakaian perempuan tentu harus didefenisikan secara jelas dan tidak diskriminatif.
Batal Mati Bosan Berkat Pegagan
Batal Mati Bosan Berkat Pegagan
Penulis: Dra. Lucie Widowati, M.Si.Apt; peneliti pada Puslitbang
Farmasi dan Obat Tradisional, Jakarta.
Seorang teman bercerita, betapa frustrasinya ia menumpas tuberkulosis (TB) paru-paru. Digempur pakai obat-obatan medis, si penyakit tetap saja eksis. Ia juga panik, karena katanya, bakteri TB bisa kebal terhadap gempuran obat yang diracik apotik. Untunglah, saat nyaris frustrasi, ia "menemukan" pegagan dan kawan-kawan.
Menjalani "takdir" sebagai penderita TB paru-paru memang tak gampang. Jika tidak ulet, alih-alih sembuh, pasien bisa mati bosan. Maklum, proses penyembuhan TB, selain cukup sulit, juga makan waktu lama, berkisar 3 - 6 bulan. Itu pun dengan catatan, pasien berdisiplin minum obat dan rajin memeriksakan diri ke dokter.
Lamanya pengobatan itulah - apalagi jika disertai kendala biaya - yang kerap menyebabkan pasien frustrasi. Ya frustrasi minum obat, ya bosan menanggung derita. Padahal, disiplin minum obat menjadi faktor penentu dalam proses penyembuhan. Pengobatan yang tidak tuntas dapat menyebabkan bakteri TB resisten terhadap beragam obat konvensional, termasuk obat kombinasi.
Dengan kata lain, pasien TB sebenarnya dilarang keras menoleransi kata bosan, apalagi sampai putus asa. Itu sebabnya, buat teman tadi, perjumpaan dengan pegagan dan kawan sejawatnya menjadi sangat berarti. Paling tidak, ia merasa tak "sendiri" lagi menghadapi tuberkulosis. Ketika banyak sanak saudara dan handai taulan menjauh lantaran takut tertular, pegagan dan kawan-kawan menjadi teman paling setia.Yang paling penting, harga mereka murah dan tak membuat kantung cekak jika dikonsumsi dalam kurun waktu lama.
Mematikan dan bikin bosan
* Tuberkulosis pertama kali diketahui keberadaannya tahun 1882 oleh ahli bakteri Jerman, Robert Koch. TB tergolong penyakit menahun dan mematikan.Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (KRT, 1995), sebagai penyebab kematian secara umum, TB menduduki peringkat ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan infeksi saluran napas. Namun, khusus di kelas penyakit infeksi, ia ada di posisi nomor satu.
TB umumnya dipicu oleh perumahan yang kurang sehat, terutama di tempat yang memiliki tingkat hunian sangat padat. Bisa juga lantaran makanan yang disantap kurang bergizi, serta kurangnya kesadaran dalam menjaga kebersihan lingkungan. TB ditandai oleh hadirnya bakteri tahan asam bernama mikobakteria tuberkulosis yang memiliki sifat rada beda dari kuman lain pada paru-paru.
Sifat-sifat berbeda itu di antaranya cepat mati bila terkena sinar Matahari, cepat mati jika berada dalam air mendidih, dan akan mati setelah 24 jam terkena cairan karbol 5%. Namun sebaliknya, basil tuberkulosis dapat hidup berminggu-minggu dalam ludah, di tempat yang sejuk, dan berbulan-bulan di tempat yang gelap. Ia juga dapat dengan mudah menular lewat hidung atau mulut.
Penderita TB paru-paru, seperti yang terjadi pada teman tadi, merasa badannya lemah dan nafsu makan berkurang. Timbul batuk yang kadang disertai darah (awalnya cuma sedikit), muka pucat dan berat badan terus berkurang, serta suhu badan naik terutama pada petang dan malam hari. Selain itu, pada malam hari penderita sering mengeluarkan keringat, kadang suaranya berubah menjadi parau atau serak.
Dengan suara parau, teman tadi terus bercerita, termasuk pertemuannya dengan seorang kawan lain yang membawa pencerahan. Kata teman sang teman, mengandalkan obat-obat medis memang tidak salah, tapi melengkapinya dengan meminum air rebusan tumbuhan berkhasiat layak dicoba. "Kalau Tuhan mengizinkan, bisa sembuh lebih cepat," jelasnya.
Sejak itu, asa teman tadi tumbuh kembali. Ia mencoba mencari tahu, beragam tanaman obat yang telah diteliti oleh berbagai institusi penelitian maupun perguruan tinggi di Indonesia. Ia mendapati, ternyata cukup banyak tanaman obat yang secara empiris telah dikenal masyarakat. Beberapa tumbuhan yang sempat tercatat, antara lain pegagan, singawalang, bunga
tembelekan, dan bumbu tali.
Menghambat & menghancurkan
* Pegagan atau nama kerennya Centella asiatica itu tumbuhan liar yang ada di dataran rendah, sampai sekitar 2.500 m di atas permukaan air laut. Secara empiris, biasa digunakan sebagai tonik, antiinfeksi, antirematik, penenang, mempercepat penyembuhan luka, dan diuretik. Berbagai penelitian telah dilakukan guna mendukung manfaat empirisnya. Misalnya, penelitian yang merujuk pegagan sebagai antiinflamasi, antioksidan, antitumor, atau untuk meningkatkan daya ingat (susunan saraf pusat), eksem (luka terbuka), dan hepatitis. Hal itu berkaitan dengan kandungan senyawa yang dimiliki pegagan, yaitu asiaticiside, thankuniside, medecassoside, brahmoside, brahminoside, madastic acid, vitamin B1, B2, dan B6.
Penduduk asli India dan Malaysia konon suka menanam dan menyimpan pegagan dalam bentuk ready stock, agar siap digunakan sewaktu-waktu. Oleh warga dua bangsa itu pegagan lazim disimpan dalam bentuk kering untuk mengobati beragam penyakit. Terkadang mereka juga membuat jus daun segar, yang diminum untuk menghilangkan pusing ringan. Dari berbagai penelitian in vitro terhadap pegagan menemukan
kemampuannya menghancurkan berbagai bakteri penyebab infeksi, seperti Staphylococcus aureus, Escherechia coli, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi,
dan sejenisnya. Sementara dalam bentuk infus atau ekstrak etanol, tumbuhan ini dipercaya dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Laorpuksa A. dan kawan-kawan dalam penelitian pada 1988 membuktikan, estrak air pegagan dapat melawan bakteri yang menyebabkan infeksi pada saluran napas. Sementara Herbert D. dan kawan-kawan dari Tuberculosis
Research Center di India mencoba efek pegagan pada bakteri tuberkulosis H37Rv secara in vitro. Hasilnya, pegagan tidak langsung berefek pada bakteri tuberkulosis. Namun, Herbert menyarankan penelitian lebih lanjut terhadap senyawa aktif asiaticoside.
Feeling Herbert terbukti benar. Berdasarkan penelitian lanjutan, senyawa aktif pegagan itu ternyata dapat melawan Mycobakterium tuberculosis dan Bacillus leprae (Oliver-Bever, 1986). Penelitian berikutnya yang dilakukan Walter H. Lewis juga menyatakan, pegagan termasuk kelompok tanaman yang menghasilkan zat seperti antibiotika dan asiaticoside.
Keampuhan pegagan juga telah diuji coba oleh Boeteau P. dan kawan-kawan, yang menginokulasi binatang percobaan marmut dengan bakteri basilus tuberkulosis selama 15 hari. Injeksi 0,5 ml 4% asiaticoside yang diberikan pada marmut, terbukti dapat mengurangi jumlah lesi tuberkular di paru-paru, hati, dan limpa. Senyawa asiaticoside membuat pegagan tak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tuberkulosis, tapi juga berpotensi sebagai imunomodulator - peningkat daya tahan tubuh.
Secara empiris, pemanfaatan pegagan untuk membasmi tuberkulosis paru-paru dapat dilakukan dengan berpedoman pada resep berikut. Cuci 30 - 60 g pegagan segar, lalu rebus dalam 3 gelas air sampai tersisa 1 gelas, dan diminum 3 kali sehari. Untuk TB kulit, lumatkan pegagan, kemudian tempelkan pada bagian yang sakit.
Kajian etnobotani di Bogor
* Masih ada sejawat pegagan yang bermanfaat serupa.
Singawalang (Pertiveria alliacea), menurut R. Indra Pandu Gunawan, yang melakukan kajian etnobotani di salah satu kampung di Bogor, Jawa Barat, juga dapat digunakan untuk mengobati tuberkulosis.
Kesimpulan itu diambilnya setelah masyarakat di kampung yang diteliti itu sukses menggunakan singawalang untuk mengobati batuk darah akibat TB.
Weniger B. pada 1988 pun menyatakan, masyarakat Haiti, Republik Dominika, telah sejak lama memanfaatkan tanaman ini untuk mengobati radang paru-paru. Singawalang sendiri merupakan tanaman berbentuk semak, tingginya bisa mencapai 1 m. Secara empiris, singawalang sering digunakan untuk peluruh kencing, peluruh dahak, peluruh keringat, dan pereda kekejangan.
Penelitian in vitro memang menunjukkan, singawalang mampu melawan bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Namun, penelitian langsung pada bakteri tuberkulosis belum dilakukan. Dosis pemanfaatan singawalang: 5 lembar daun yang telah dicuci bersih ditumbuk sampai halus. Hasil tumbukan diseduh dengan air panas, dibubuhi garam dan gula merah secukupnya. Aduk sampai larut, saring dan minum setelah dingin. Frekuensi meminumnya dua kali sehari.
Masih ada lagi yang namanya bunga tembelekan (Lantana camara). Tumbuhan ini dapat hidup secara liar atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Perdu setinggi 0,5 - 4 m dan berbau ini secara empiris berkhasiat meredakan demam, penawar racun, penghilang nyeri, dan penghenti perdarahan. Ia tumbuh di dataran rendah sampai 1.700 m di atas permukaan laut.
Untuk melawan tuberkulosis paru-paru dengan batuk darah, digunakan bunga tembelekan kering sebanyak 6 - 10 g, direbus dalam 3 gelas air bersih sampai air rebusannya tersisa separuh. Setelah dingin, air rebusan itu disaring, dibagi untuk 3 kali minum (pagi hari, siang, dan sore) masing-masing setengah gelas.
Jangan lupakan juga tanaman bambu tali (Asparagus cochinchinensis). Tumbuhan asal Cina, Jepang, dan Korea itu tingginya dapat mencapai 1,5 m. Daunnya berwarna hijau, berbentuk helai panjang, runcing, dan halus. Bagian yang digunakan untuk obat adalah umbinya. Untuk mengatasi penyakit tuberkulosis yang disertai batuk darah, digunakan 6 - 12 g umbi kering
bambu tali, direbus dalam 1,5 gelas air. Air rebusannya diminum dalam
keadaan hangat dua kali sehari, sampai penyakit sembuh.
Obat "hati"
* Kalau mau digali lagi, sebenarnya masih banyak tumbuhan -
berdasarkan pengalaman empiris nenek moyang - dipercaya dapat digunakan untuk
memerangi TB.
Salah satunya daun legundi (Vitex negundo L). Untuk menggunakannya, 3/5
genggam daunnya dicuci, lalu direbus dengan air bersih sebanyak 3 gelas
makan, sampai air rebusannya tinggal 3/4 gelas saja. Sesudah dingin,
disaring lalu diminum dengan madu seperlunya. Frekuensi minumnya 3 kali
sehari.
Ada lagi serbuk biji pronojiwo (Euhrseta horfieldii Benn). Untuk
pengobatan diperlukan 3/4 sendok teh serbuk biji pronojiwo, diseduh dengan
air panas sebayak 1/2 cangkir dan madu 1 sendok makan. Dalam keadaan
suam-suam kuku, ramuan diminum 3 kali sehari. Atau bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosasinensis L). Ramuannya, 3 kuntum bunga kembang sepatu dicuci
bersih, lalu digiling halus, diberi air masak 1/2 cangkir dan madu 1
sendok makan, kemudian diperas dan disaring. Ramuan diminum tiga kali
sehari.
Bisa juga dicoba bidara upas (Merremia mammosa). Ambilah 1/3 jari
bidara, dicuci bersih lalu diparut, diberi air masak 1 sendok makan dan madu
2 sendok teh, diperas dan disaring. Obat alami ini diminum tiga kali
sehari.
Terakhir, daun gandapura (Gaultheria fragrantissima). Diperlukan 1
sendok makan serbuk kering daun gandapura. Bahan itu diseduh dengan air
panas 3/4 cangkir dan madu 1 sendok makan. Seduhan diminum dalam keadaan
suam-suam kuku. Frekuensinya 3 kali sehari.
Melihat begitu banyaknya alternatif, teman saya jelas makin girang.
Kini ia tidak hanya lebih optimistis menyikapi hidup, tapi juga lebih
telaten merawat tanaman-tanamannya, terutama tanaman pegagan dan
kawan-kawan. Buat sang teman, mereka bukan hanya andalan baru untuk mengusir TB
paru-paru, tapi juga mengisi sepi dan mengusir frustrasi.
Catatan:
Satu Tanaman Lain Sebutan
Pegagan dikenal juga sebagai daun kaki kuda (Jakarta), antanan gede
(Sunda), kori-kori (Halmahera), kolotidi menora (Ternate), gagan-gagan,
gangagan, kerok batok, pantegowang, panigowang, rendeng (Jawa).
Nama lain bunga tembelekan adalah bunga pagar atau kayu Singapura. Di
Sunda kerap disebut kembang satek, saliyara, tai ayam atau tai kotok.
Sedangkan di Jawa kadang disebut oblo, puyengan, pecengan, atau waung.
Bambu tali atau bambu apus suka juga disebut awi tali (Sunda), deling
apus, deling tangsul, jajang pring (Jawa) atau tiing tali, tiing tlantan
(Bali). Tumbuhan lainnya, legundi, punya nama alias gendarasi
(Palembang) atau langgundi (Minangkabau). Sedangkan bidara upas kerap disebut
blanar (Jawa) atau hailale (Ambon). *
Penulis: Dra. Lucie Widowati, M.Si.Apt; peneliti pada Puslitbang
Farmasi dan Obat Tradisional, Jakarta.
Seorang teman bercerita, betapa frustrasinya ia menumpas tuberkulosis (TB) paru-paru. Digempur pakai obat-obatan medis, si penyakit tetap saja eksis. Ia juga panik, karena katanya, bakteri TB bisa kebal terhadap gempuran obat yang diracik apotik. Untunglah, saat nyaris frustrasi, ia "menemukan" pegagan dan kawan-kawan.
Menjalani "takdir" sebagai penderita TB paru-paru memang tak gampang. Jika tidak ulet, alih-alih sembuh, pasien bisa mati bosan. Maklum, proses penyembuhan TB, selain cukup sulit, juga makan waktu lama, berkisar 3 - 6 bulan. Itu pun dengan catatan, pasien berdisiplin minum obat dan rajin memeriksakan diri ke dokter.
Lamanya pengobatan itulah - apalagi jika disertai kendala biaya - yang kerap menyebabkan pasien frustrasi. Ya frustrasi minum obat, ya bosan menanggung derita. Padahal, disiplin minum obat menjadi faktor penentu dalam proses penyembuhan. Pengobatan yang tidak tuntas dapat menyebabkan bakteri TB resisten terhadap beragam obat konvensional, termasuk obat kombinasi.
Dengan kata lain, pasien TB sebenarnya dilarang keras menoleransi kata bosan, apalagi sampai putus asa. Itu sebabnya, buat teman tadi, perjumpaan dengan pegagan dan kawan sejawatnya menjadi sangat berarti. Paling tidak, ia merasa tak "sendiri" lagi menghadapi tuberkulosis. Ketika banyak sanak saudara dan handai taulan menjauh lantaran takut tertular, pegagan dan kawan-kawan menjadi teman paling setia.Yang paling penting, harga mereka murah dan tak membuat kantung cekak jika dikonsumsi dalam kurun waktu lama.
Mematikan dan bikin bosan
* Tuberkulosis pertama kali diketahui keberadaannya tahun 1882 oleh ahli bakteri Jerman, Robert Koch. TB tergolong penyakit menahun dan mematikan.Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (KRT, 1995), sebagai penyebab kematian secara umum, TB menduduki peringkat ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan infeksi saluran napas. Namun, khusus di kelas penyakit infeksi, ia ada di posisi nomor satu.
TB umumnya dipicu oleh perumahan yang kurang sehat, terutama di tempat yang memiliki tingkat hunian sangat padat. Bisa juga lantaran makanan yang disantap kurang bergizi, serta kurangnya kesadaran dalam menjaga kebersihan lingkungan. TB ditandai oleh hadirnya bakteri tahan asam bernama mikobakteria tuberkulosis yang memiliki sifat rada beda dari kuman lain pada paru-paru.
Sifat-sifat berbeda itu di antaranya cepat mati bila terkena sinar Matahari, cepat mati jika berada dalam air mendidih, dan akan mati setelah 24 jam terkena cairan karbol 5%. Namun sebaliknya, basil tuberkulosis dapat hidup berminggu-minggu dalam ludah, di tempat yang sejuk, dan berbulan-bulan di tempat yang gelap. Ia juga dapat dengan mudah menular lewat hidung atau mulut.
Penderita TB paru-paru, seperti yang terjadi pada teman tadi, merasa badannya lemah dan nafsu makan berkurang. Timbul batuk yang kadang disertai darah (awalnya cuma sedikit), muka pucat dan berat badan terus berkurang, serta suhu badan naik terutama pada petang dan malam hari. Selain itu, pada malam hari penderita sering mengeluarkan keringat, kadang suaranya berubah menjadi parau atau serak.
Dengan suara parau, teman tadi terus bercerita, termasuk pertemuannya dengan seorang kawan lain yang membawa pencerahan. Kata teman sang teman, mengandalkan obat-obat medis memang tidak salah, tapi melengkapinya dengan meminum air rebusan tumbuhan berkhasiat layak dicoba. "Kalau Tuhan mengizinkan, bisa sembuh lebih cepat," jelasnya.
Sejak itu, asa teman tadi tumbuh kembali. Ia mencoba mencari tahu, beragam tanaman obat yang telah diteliti oleh berbagai institusi penelitian maupun perguruan tinggi di Indonesia. Ia mendapati, ternyata cukup banyak tanaman obat yang secara empiris telah dikenal masyarakat. Beberapa tumbuhan yang sempat tercatat, antara lain pegagan, singawalang, bunga
tembelekan, dan bumbu tali.
Menghambat & menghancurkan
* Pegagan atau nama kerennya Centella asiatica itu tumbuhan liar yang ada di dataran rendah, sampai sekitar 2.500 m di atas permukaan air laut. Secara empiris, biasa digunakan sebagai tonik, antiinfeksi, antirematik, penenang, mempercepat penyembuhan luka, dan diuretik. Berbagai penelitian telah dilakukan guna mendukung manfaat empirisnya. Misalnya, penelitian yang merujuk pegagan sebagai antiinflamasi, antioksidan, antitumor, atau untuk meningkatkan daya ingat (susunan saraf pusat), eksem (luka terbuka), dan hepatitis. Hal itu berkaitan dengan kandungan senyawa yang dimiliki pegagan, yaitu asiaticiside, thankuniside, medecassoside, brahmoside, brahminoside, madastic acid, vitamin B1, B2, dan B6.
Penduduk asli India dan Malaysia konon suka menanam dan menyimpan pegagan dalam bentuk ready stock, agar siap digunakan sewaktu-waktu. Oleh warga dua bangsa itu pegagan lazim disimpan dalam bentuk kering untuk mengobati beragam penyakit. Terkadang mereka juga membuat jus daun segar, yang diminum untuk menghilangkan pusing ringan. Dari berbagai penelitian in vitro terhadap pegagan menemukan
kemampuannya menghancurkan berbagai bakteri penyebab infeksi, seperti Staphylococcus aureus, Escherechia coli, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi,
dan sejenisnya. Sementara dalam bentuk infus atau ekstrak etanol, tumbuhan ini dipercaya dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Laorpuksa A. dan kawan-kawan dalam penelitian pada 1988 membuktikan, estrak air pegagan dapat melawan bakteri yang menyebabkan infeksi pada saluran napas. Sementara Herbert D. dan kawan-kawan dari Tuberculosis
Research Center di India mencoba efek pegagan pada bakteri tuberkulosis H37Rv secara in vitro. Hasilnya, pegagan tidak langsung berefek pada bakteri tuberkulosis. Namun, Herbert menyarankan penelitian lebih lanjut terhadap senyawa aktif asiaticoside.
Feeling Herbert terbukti benar. Berdasarkan penelitian lanjutan, senyawa aktif pegagan itu ternyata dapat melawan Mycobakterium tuberculosis dan Bacillus leprae (Oliver-Bever, 1986). Penelitian berikutnya yang dilakukan Walter H. Lewis juga menyatakan, pegagan termasuk kelompok tanaman yang menghasilkan zat seperti antibiotika dan asiaticoside.
Keampuhan pegagan juga telah diuji coba oleh Boeteau P. dan kawan-kawan, yang menginokulasi binatang percobaan marmut dengan bakteri basilus tuberkulosis selama 15 hari. Injeksi 0,5 ml 4% asiaticoside yang diberikan pada marmut, terbukti dapat mengurangi jumlah lesi tuberkular di paru-paru, hati, dan limpa. Senyawa asiaticoside membuat pegagan tak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tuberkulosis, tapi juga berpotensi sebagai imunomodulator - peningkat daya tahan tubuh.
Secara empiris, pemanfaatan pegagan untuk membasmi tuberkulosis paru-paru dapat dilakukan dengan berpedoman pada resep berikut. Cuci 30 - 60 g pegagan segar, lalu rebus dalam 3 gelas air sampai tersisa 1 gelas, dan diminum 3 kali sehari. Untuk TB kulit, lumatkan pegagan, kemudian tempelkan pada bagian yang sakit.
Kajian etnobotani di Bogor
* Masih ada sejawat pegagan yang bermanfaat serupa.
Singawalang (Pertiveria alliacea), menurut R. Indra Pandu Gunawan, yang melakukan kajian etnobotani di salah satu kampung di Bogor, Jawa Barat, juga dapat digunakan untuk mengobati tuberkulosis.
Kesimpulan itu diambilnya setelah masyarakat di kampung yang diteliti itu sukses menggunakan singawalang untuk mengobati batuk darah akibat TB.
Weniger B. pada 1988 pun menyatakan, masyarakat Haiti, Republik Dominika, telah sejak lama memanfaatkan tanaman ini untuk mengobati radang paru-paru. Singawalang sendiri merupakan tanaman berbentuk semak, tingginya bisa mencapai 1 m. Secara empiris, singawalang sering digunakan untuk peluruh kencing, peluruh dahak, peluruh keringat, dan pereda kekejangan.
Penelitian in vitro memang menunjukkan, singawalang mampu melawan bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Namun, penelitian langsung pada bakteri tuberkulosis belum dilakukan. Dosis pemanfaatan singawalang: 5 lembar daun yang telah dicuci bersih ditumbuk sampai halus. Hasil tumbukan diseduh dengan air panas, dibubuhi garam dan gula merah secukupnya. Aduk sampai larut, saring dan minum setelah dingin. Frekuensi meminumnya dua kali sehari.
Masih ada lagi yang namanya bunga tembelekan (Lantana camara). Tumbuhan ini dapat hidup secara liar atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Perdu setinggi 0,5 - 4 m dan berbau ini secara empiris berkhasiat meredakan demam, penawar racun, penghilang nyeri, dan penghenti perdarahan. Ia tumbuh di dataran rendah sampai 1.700 m di atas permukaan laut.
Untuk melawan tuberkulosis paru-paru dengan batuk darah, digunakan bunga tembelekan kering sebanyak 6 - 10 g, direbus dalam 3 gelas air bersih sampai air rebusannya tersisa separuh. Setelah dingin, air rebusan itu disaring, dibagi untuk 3 kali minum (pagi hari, siang, dan sore) masing-masing setengah gelas.
Jangan lupakan juga tanaman bambu tali (Asparagus cochinchinensis). Tumbuhan asal Cina, Jepang, dan Korea itu tingginya dapat mencapai 1,5 m. Daunnya berwarna hijau, berbentuk helai panjang, runcing, dan halus. Bagian yang digunakan untuk obat adalah umbinya. Untuk mengatasi penyakit tuberkulosis yang disertai batuk darah, digunakan 6 - 12 g umbi kering
bambu tali, direbus dalam 1,5 gelas air. Air rebusannya diminum dalam
keadaan hangat dua kali sehari, sampai penyakit sembuh.
Obat "hati"
* Kalau mau digali lagi, sebenarnya masih banyak tumbuhan -
berdasarkan pengalaman empiris nenek moyang - dipercaya dapat digunakan untuk
memerangi TB.
Salah satunya daun legundi (Vitex negundo L). Untuk menggunakannya, 3/5
genggam daunnya dicuci, lalu direbus dengan air bersih sebanyak 3 gelas
makan, sampai air rebusannya tinggal 3/4 gelas saja. Sesudah dingin,
disaring lalu diminum dengan madu seperlunya. Frekuensi minumnya 3 kali
sehari.
Ada lagi serbuk biji pronojiwo (Euhrseta horfieldii Benn). Untuk
pengobatan diperlukan 3/4 sendok teh serbuk biji pronojiwo, diseduh dengan
air panas sebayak 1/2 cangkir dan madu 1 sendok makan. Dalam keadaan
suam-suam kuku, ramuan diminum 3 kali sehari. Atau bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosasinensis L). Ramuannya, 3 kuntum bunga kembang sepatu dicuci
bersih, lalu digiling halus, diberi air masak 1/2 cangkir dan madu 1
sendok makan, kemudian diperas dan disaring. Ramuan diminum tiga kali
sehari.
Bisa juga dicoba bidara upas (Merremia mammosa). Ambilah 1/3 jari
bidara, dicuci bersih lalu diparut, diberi air masak 1 sendok makan dan madu
2 sendok teh, diperas dan disaring. Obat alami ini diminum tiga kali
sehari.
Terakhir, daun gandapura (Gaultheria fragrantissima). Diperlukan 1
sendok makan serbuk kering daun gandapura. Bahan itu diseduh dengan air
panas 3/4 cangkir dan madu 1 sendok makan. Seduhan diminum dalam keadaan
suam-suam kuku. Frekuensinya 3 kali sehari.
Melihat begitu banyaknya alternatif, teman saya jelas makin girang.
Kini ia tidak hanya lebih optimistis menyikapi hidup, tapi juga lebih
telaten merawat tanaman-tanamannya, terutama tanaman pegagan dan
kawan-kawan. Buat sang teman, mereka bukan hanya andalan baru untuk mengusir TB
paru-paru, tapi juga mengisi sepi dan mengusir frustrasi.
Catatan:
Satu Tanaman Lain Sebutan
Pegagan dikenal juga sebagai daun kaki kuda (Jakarta), antanan gede
(Sunda), kori-kori (Halmahera), kolotidi menora (Ternate), gagan-gagan,
gangagan, kerok batok, pantegowang, panigowang, rendeng (Jawa).
Nama lain bunga tembelekan adalah bunga pagar atau kayu Singapura. Di
Sunda kerap disebut kembang satek, saliyara, tai ayam atau tai kotok.
Sedangkan di Jawa kadang disebut oblo, puyengan, pecengan, atau waung.
Bambu tali atau bambu apus suka juga disebut awi tali (Sunda), deling
apus, deling tangsul, jajang pring (Jawa) atau tiing tali, tiing tlantan
(Bali). Tumbuhan lainnya, legundi, punya nama alias gendarasi
(Palembang) atau langgundi (Minangkabau). Sedangkan bidara upas kerap disebut
blanar (Jawa) atau hailale (Ambon). *
Langganan:
Postingan (Atom)